Gempa Sumbar 2009
Kisah Jurnalis Syofiardi Meliput Gempa Sumbar 2009: Padang Luluh Lantak hingga Teriakan Minta Tolong
SEORANG Jurnalis di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) bernama Syofiardi Bachyul bergegas mengambil kamera dan handphone/HP miliknya di rum
Penulis: Fuadi Zikri | Editor: Emil Mahmud
SEORANG Jurnalis di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) bernama Syofiardi Bachyul bergegas mengambil kamera dan handphone/HP miliknya di rumah yang telah retak.
Kamera DSLR (Digital Single Lens Reflex) dan handphone/HP jadul merek Nokia ia masukkan ke dalam ransel kecil.
Lalu Syofiardi mengebut motor pribadinya menuju tengah Kota Padang dari daerah Pauh, daerah pinggir Kota Padang, Provinsi Sumbar di kediamannya.
Ketika itu ia melaporkan peristiwa gempa kuat mengguncang Kota Padang kepada kantor berita The Jakarta Post, tempat ia bekerja.
Dia mengirimkan naskah berita melalui sambungan telepon ke awak redaksi The Jakarta Post, mulai hari pertama kejadian dan hari kedua.
Selanjutnya, dia baru dapat tersambung akses internet, untuk mengirim naskah berita via email, termasuk dokumentasi yang dihimpun di lapangan.
Gempa terjadi pada pukul 17.16 WIB, Rabu (30/9/2022) yang berkekuatan 7,6 skala richter dan berpusat dilepas pantai sekira 50 kilometer/KM Kota Padang.
"Guncangannya sangat lama dan kuat. Ini adalah gempa terkuat yang pernah saya rasakan," kenang Syofiardi saat berbincang dengan TribunPadang.com, Kamis (29/9/2022).
Syofiardi merupakan seorang jurnalis pada Surat Kabar berbahasa Inggris di Indonesia. Ia seorang dari banyaknya jurnalis yang mewartakan bagaimana insiden gempa Padang 2009.
Ayah dua anak itu berkisah, saat gempa terjadi ia tengah tidur sore bersama keluarga kecilnya. Ia baru saja pulang meliput dan mengirim berita. Begitu juga istrinya yang juga seorang jurnalis.
"Kami kaget, tiba-tiba ada ayunan sangat kuat. Saya sama istri dan anak spontan keluar rumah. Kebetulan di sebelah rumah saya ada sawah kering, di sana kami berlindung," tutur Syofiardi.
Setelah ayunan gempa mulai berkurang dan berhenti, Syofiardi beranjak ke rumahnya yang baru saja di bangun. Ia mengecek sekeliling dan mematikan semuanya aman.
Kemudian, ia menghubungi keluarganya di kampung dan kantor berita tempat ia bekerja.
Waktu itu sinyal di telepon genggamnya hilang. Beruntungnya ia bisa menghubungi orang yang ingin ia hubungi dengan telepon kabel miliknya.
"Saya memastikan semua keluarga saya selamat. Istri, anak, dan keluarga saya di kampung. Baru saya pergi keluar. Kantor saya juga meminta saya untuk menyelamatkan diri dulu," ungkapnya.

Kota Padang luluh lantak
Kawasan Simpang Haru, Kecamatan Padang Timur menjadi daerah pertama yang dikunjungi Syofiardi pasca gempa.
Ia berfikir, daerah itu masih cukup aman jika ancaman tsunami terjadi, sebab cukup jauh dari bibir pantai. Saat itu beberapa kali gempa susulan masih ia rasakan.
"Titik terjauh saya ketika itu jembatan yang menghubungkan Andalas dengan Simpang Haru," tutur Syofiardi.
Ia mengingat, sepanjang jalan yang dilaluinya, terutama kawasan Andalas banyak bangunan yang roboh, mulai dari ruko bertingkat, rumah warga, hingga masjid.
Jalanan kondisinya padat. Dari arah pantai orang-orang berlarian ke arah perbukitan membawa apasaja.
"Dijembatan saya lihat orang penuh, mengantre untuk menyeberang. Ada yang yang menyeberang lewat sungai dengan motornya, karena sungainya dangkal juga," kata Syofiardi.
"Karena memasuki Magrib, saya memilih pulang. Setelah magrib saya kembali menenteng kamera dan balik ke kota," sambungnya.
Syofiardi menuturkan, hari yang mulai beranjak gelap membuat kondisi di tengah kota semakin mencekam. Sepanjang jalan gelap karena aliran listrik mati.
Pada saat itu dirinya memberanikan diri lebih jauh ke tengah kota karena ancaman tsunami telah dicabut. Kurang lebih satu jam setelah gempa.
Pada beberapa bangunan yang roboh di kawasan Simpang Haru, tepatnya seberang jembatan Andalas, ia mendengar suara orang menjerit meminta tolong.
"Dekat pasar Simpang Haru orang-orang mengerubungi bangunan bank perkreditan rakyat yang rubuh. Ada perempuan yang menangisi pimpinannya yang tertimpa bangunan," ujar Syofiardi.
"Waktu itu tidak ada yang berdaya untuk mengevakuasi, karena ditimpa bangunan. Memang orang yang profesional dan alat yang memadai yang bisa evakuasi," jelasnya.
Ia yang bertugas sebagai pewarta mengabadikan beberapa momen kala itu. Terutamanya bagaimana kondisi Kota Padang.
Tak hanya bangunan runtuh, beberapa titik lokasi terjadi kebakaran, asap tebal dan hitam melangit.
"Saya melihat seperti di dalam komik-komik bencana. Asap dimana-mana, bangunan hancur, orang berlarian, kendaran terhimpit," ucapnya.
Di hari pertama, Syofiardi tak begitu lama di lapangan. Ia harus pulang sebelum larut malam karena ia juga korban lindu dan ada keluarga di rumah yang menunggu.
"Hari kedua saya beru jalan jauh ke kota. Hari-hari berikutnya saya sampai ke Pariaman, ada desa yang terkubur di sana karena longsor," ungkapnya.
Syofiardi berkata, tengah Kota Padang arah ke pantai yang ia susuri ternyata jauh lebih parah dari yang ia lihat di hari pertaman. Kota tempat ia tinggal selama ini telah luluh lantah.
"Ketika itu, sirine ambulan bersahutan. Kantung manyat berisikan jenazah bertumpuk mulai banyak," imbuhnya.
"Kondisi diperparah juga dengan hujan lebat yang mengguyur Kota Padang beberapa kali dan juga dibarengi dengan gempa susulan," bebernya.
Jenazah pertama di Hotel Ambacang
Hotel Ambcang di Jalan Bundo Kanduang, Kecamatan Padang Barat ketika itu rusak berat. Lantai dasarnya rata dengan tanah dan menjadi lokasi temuan korban terbanyak.
Di sana Syofiardi mengabadikan bangaimana petugas bercucuran keringat berusaha mencari puluhan pengunjung hotel yang tertimbun.
"Ketika itu saya melihat langsung korban pertama yang dievakuasi dari dalam puing reruntuhan. Untuk jenis kelamin dan kondisinyanya saya kurang tahu," katanya.
"Ketika itu saya hanya mengabadikan bagaimana suasananya. Di luar warga yang melihat proses evakuasi ramai," tutur Syofiardi.
Setelah jenazah pertama berhasil dievakuasi dari balik puing, jenazah-jenazah berikutnya mulai ditemukan. Bahkan ada yang dievakusi dengan selamat.
Dari pemberitaan kala itu, ada puluhan jenazah yang ditemukan di sana dan seorang dinyatakan hilang hingga sekarang.
Baca juga: Mengenang Gempa 2009 Sumbar: Ada Bangkai Mobil di Halaman Gedung Abdullah Kamil Yayasan Genta Budaya
Memori liputan yang masih tersimpan
Liputan bencana tahun itu menjadi yang terlama bagi Syofiardi. Ia menyebut hingga hari ke 40 masih memberitakan bagaimana proses evakuasi yang masih berlangsung.
"Ketika itu evakusi di Hotel Ambcang masih jalan. Saya masih kesana meliput. Kawan-kawan wartawan lainnya juga," bebernya.
Sudah berjalan 13 tahun, hingga kini ia masih menyimpan semua hasil liputannya, baik itu tulisan maupun dokumentasi foto, video dan rekaman audio.

Selain itu, semua momen kala itu juga terukir di ingatannya. Meski ada yang terlupa, jika melihat dokumentasi yang ada ia akan mengingatnya kembali.
Saat refleksi gempa Padang di 2020, ia menulis pengakamannya di akun Facebook pribadinya.
Penting diketahui, Pemko Padang mencatat total korban jiwa akibat peristiwa ini mencapai 300 lebih dari total seribuan korban jiwa di Sumbar.
Dari pemberitaan Tahun 2009 itu, ada 36 orang yang meninggal di Gama. Selain korban jiwa, 125 ribu lebih bangunan, baik rumah maupun perkantoran rusak. (TribunPadang.com/Muhammad Fuadi Zikri)