Kenaikan Harga BBM, Prof Syafruddin Karimi: Potensi Risiko Stagflasi Harus Disiapkan Penangkalnya
Pemerintah resmi menaikkan harga bahan bakar minyak(BBM) bersubsidi jenis pertalite dan solar, begitu juga BBM jenis Pertamax pada Sabtu (3/9/2022)
Penulis: Wahyu Bahar | Editor: Mona Triana
Laporan Wartawan TribunPadang.com, Wahyu Bahar
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Pemerintah resmi menaikkan harga bahan bakar minyak(BBM) bersubsidi jenis pertalite dan solar, begitu juga BBM jenis Pertamax pada Sabtu (3/9/2022).
Pakar ekonomi Universitas Andalas Prof Syafruddin Karimi turut merespons kenaikan harga BBM tersebut.
Menurut Syafruddin, potensi risiko stagflasi yang dikandung kenaikan harga BBM harus segera disiapkan penangkalnya.
Baca juga: Terkait Harga BBM Naik, Bupati Sijunjung Benny Dwifa: Harus Antisipasi Inflasi Kenaikan Harga Pangan
Satu sisi, pemerintah telah membuat kebijakan yang menaikkan harga BBM dengan dampak negatif terhadap sektor riil.
"Pada sisi lain pemerintah perlu menerbitkan kebijakan stimulus yang mampu pula memberikan kompensasi terhadap produsen sehingga tidak terjadi dampak negatif terhadap produksi dan permintaan terhadap tenaga kerja," ujar Syafruddin kepada TribunPadang.com, Minggu (4/9/2022).
Ia mengatakan, bila melihat tekanan inflasi dan tekanan pengangguran yang masih tinggi dengan kecenderungan risiko stagflasi, kenaikan harga BBM berdampak terhadap meningkatnya biaya hidup dan biaya produksi justru berpotensi mendekatkan kita terhadap risiko stagflasi.
Baca juga: Pemerintah Resmi Naikan Harga BBM Subsidi, Pertalite Jadi Rp10 Ribu, Berlaku Hari Ini
Stagflasi, kata dia, menimbulkan stagnasi di tengah inflasi. Adapun itu merupakan pilhan sulit buat pengambil kebijakan. Karena itu, pemerintah tetap perlu memberi stimulus terhadap sektor produksi riil agar kenaikan inflasi bisa tetap mendorong kegiatan produksi dan kesempatan kerja.
"Upaya-upaya pengendalian inflasi di daerah perlu sejalan dengan upaya-upaya mendorong produksi, perbaikan infrastruktur jalan yang mempercepatan koneksi antara sentra produksi dan pasar baik untuk input produksi maupun untuk barang barang dan jasa," jelas dia.
Kenaikan Harga BBM dan Ancaman inflasi
Syafruddin mengatakan, seperti yang terjadi pada kenaikan harga BBM sebelumnya, kenaikan harga BBM akan disusul oleh harga-harga barang dan jasa.
Yang dikhawatirkan bila kenaikan harga-harga tersebut akan meningkatkan inflasi, meski sebulan terakhir sudah terjadi inflasi negatif.
Akhirnya semua akan bermuara pada kenaikan inflasi. Inflasi membuat pendapatan riil kita menurun.
"Artinya daya beli menurun. Individu yang punya pendapatan nominal tetap, pendapatan riil nya turun. Beda dengan bisnis yang bisa menyesuaikan harga setelah mengantisipasi dan merasakan inflasi mendongkrak biaya produksinya naik," ujar dia.
Kemudian, dampak juga mulai dirasakan oleh pelaku usaha adalah kenaikan biaya angkut. Ia mencontohkan, ada pedagang komoditas pertanian yang mendapat pesanan sebanyak satu ton dari Payakumbuh Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) ke Pekanbaru Provinsi Riau.
"Sebelum kenaikan harga BBM biayanya hanya Rp 1,8 Juta, hari ini usaha angkutan hanya mau terima Rp 2,3 Juta dengan alasan kenaikan harga BBM. Itu info dari petani yang langsung memasarkankan hasil pertaniannya," kata dia.
Lalu, petani tersebut tentu tidak mau menerima untung yang lebih rendah atau merugi. Selanjutnya akan naikkan pula harga jualnya pada pemesan dengan alasan kenaikan harga BBM yang membuat harga pokoknya meningkat.
Selanjutnya konsumen akan merasakan biaya hidupnya meningkat. Dijelaskannya, jika yang membeli adalah reseller, maka reseller akan menaikkan harga jualnya.
"Kemudian, pembeli terakhir tidak bisa menggeser langsung ke pembeli selanjutnya, tetapi pada biaya hidupnya. Ini baru satu contoh dampak kenaikan harga BBM terhadap transportasi barang-barang," imbuh dia.
Lebih lanjut dikatakannya, kenaikan harga BBM hilirnya mendorong kenaikan inflasi. Bagi keluarga tidak mampu dan rendah daya beli, pemerintah sudah siapkan bantalan sosial termasuk buat pekerja dengan upah tertentu.
Analisa dia, pemerintah tentu sudah memperkirakan kompensasi terhadap lapisan masyarakat dan pekerja dengan kalkulasi bahwa kenaikan harga BBM yang menurunkan tingkat kesejahteraan, dan bisa digenjot dengan bantalan sosial.
"Artinya kelompok ini kesejahteraannya minimum tetap sama atau lebih tinggi dengan menerima bantalan sosial. Andai kata tidak terjadi, tentu mereka akan alami kesejahteraan yang menurun akibat kenaikan harga BBM. Yang dulunya berada di atas garis kemiskinan, kini jatuh di bawah garis kemiskinan," terang Syafruddin.
Adapun, ia juga menunggu juga bagaimana kebijakan moneter Bank Indonesia merespon potensi kenaikan inflasi dampak kenaikan BBM itu.
"Apakah akan menaikkan suku bunga kebijakan agar inflasi yang potensial terjadi tidak melampaui target inflasi yang ditetapkan pemerintah? Kalau itu dilakukan bakal terjadi sejenis Quantitative Tightening (QT) yang menaikkan suku bunga pinjaman yang selanjutnya mempengaruhi permintaan kredit untuk investasi. Selanjutnya ini akan berdampak pula terhadap pemulihan ekonomi," pungkas dia. (*)
ReplyForward