Sumatera Barat
Mahasiswa Filsafat UGM Asal Sumatera Barat Teliti, Kearifan Lokal Mentawai: Tradisi Menjaga Hutan
Mahasiswa Filsafat UGM asal Sumatera Barat atau Sumbar melakukan eksplorasi atau penelitian tentang kearifan lokal Kepulauan Mentawai
Penulis: Rima Kurniati | Editor: Emil Mahmud
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Mahasiswa filsafat UGM asal Sumatera Barat atau Sumbar melakukan eksplorasi atau penelitian tentang kearifan lokal Kepulauan Mentawai, Arat Sabulungan
Seorang mahasiswa UGM asal Sumbar Aza Khiatun Nisa mengatakan, dari hasil penelitian diketahui bahwa Arat Sabulungan menuntun masyarakat Mentawai untuk menjaga hutan agar tercipta keseimbangan hidup antara komponen lingkungan fisik dan lingkungan non-fisik.
Lanjutnya, ada enam praktik tradisi yang mengatur dan membatasi penggunaan sumber daya alam yakni kei-kei (tabu dan larangan), tulou (denda), alak toga (mas kawin), panaki (ritual minta izin), punen (pesta), dan leleiyo atau urai simatak (lagu rakyat).
Dijelaskannya, bahwa Arat Sabulungan bagi masyarakat Mentawai memiliki peran dan kedudukan sebagai prinsip religius sekaligus filosofis hidup disamping mereka juga memeluk agama resmi.
Baca juga: Delapan Rumah Warga Rusak Akibat Gempa Mentawai, Tiga di Desa Simalegi dan Lima di Desa Simatalu

"Selain sebagai prinsip religius, Arat Sabulungan juga berperan sebagai sistem hukum dan norma sosial serta sebagai prinsip konservasi lingkungan. Salah satu contoh konservasi lingkungan yakni terkait izin," kata Aza melalui rilis yang diterima, Rabu (31/8/2022)
Ia menambahkan, pada izin terhadap pembangunan jalan dari pemerintah, tidak hanya sebatas pada pemerintah pusat melainkan juga pada masyarakat Mentawai melalui sikerei atau ketua adat.
Saat wawancara dengan Amman Sasali selaku sikerei atau ketua adat, Aza dan rekannya memperoleh pengetahuan mendalam tentang sejarah dan konsep Arat Sabulungan.
Istilah Arat Sabulungan itu mencakup banyak makna, di dalamnya ada adat, agama, pesta, dan tradisi.
Secara singkat, Arat itu adat. Sabulungan itu ritual. Kata bulung diambil dari kata tumbuh-tumbuhan.
Jadi, singkatnya adalah adat yang diambil dari alam.
Namun Arat Sabulungan bukan hanya sebatas izin di atas kertas melainkan juga perlu ada izin melalui ritual agar tidak diganggu oleh roh-roh leluhur.
Hal ini dikarenakan masyarakat Mentawai juga memahami bahwa hutan yang mereka pakai itu adalah warisan untuk cucu-cucu mereka.
Selain Aza Khiatun Nisa, penelitian ini dilakukan Nur Amalia Fitri, M. Farid Wajdi, Moch Zihad Islami, dan Kartika Situmorang
Penelitian yang berjudul Arat Sabulungan: Eksplorasi Konsep Penanganan Perubahan Iklim dan Konsumsi Sumber Daya Berkelanjutan pada Masyarakat Mentawai dilakukan pada 17-24 Juni 2022 di Dusun Buttui, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan dan Tua Pejat, Pulau Sipora, Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Pengumpulan data dilakukan secara observasi dan wawancara dengan 7 narasumber.
Di antaranya Amman Sasali sebagai ketua adat, Dr Maskota Delfi sebagai Dosen Antropologi Universitas Andalas (Unand), Xaverius sebagai pegiat budaya, Fransiskus Yan sebagai Ketua Yayasan Pendidikan Budaya Mentawai.