HUT Ke 77 RI

Makna Kemerdekaan bagi Anak Bangsa, Menatap Potret Buram Kebebasan Pers Indonesia

HARI-hari menjelang peringatan 17 Agustusan, yang pada 2022 merupakan hari ulang tahun (HUT) ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia berbeda dengan dua t

Penulis: Emil Mahmud | Editor: Mona Triana
zoom-inlihat foto Makna Kemerdekaan bagi Anak Bangsa, Menatap Potret Buram Kebebasan Pers Indonesia
ISTIMEWA
Emil Mahmudsyah, Penanggung Jawab TribunPadang.com Tribun Network, Kompas Gramedia

Penulis: Emil Mahmudsyah, Penanggung Jawab TribunPadang.com Tribun Network, Kompas Gramedia

HARI-hari menjelang peringatan 17 Agustusan, yang pada 2022 merupakan hari ulang tahun (HUT) ke-77 Kemerdekaan Republik Indonesia yang berbeda dengan dua tahun terdahulu.

Utamanya, sepanjang pandemi Covid-19 yang mendera sebagian besar khalayak Planet Bumi, termasuk Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) suasana dengan tahun ini sungguh kentara perbedaannya.

Ada diksi "kemerdekaan", menjadi fokus dari setiap peringatan HUT Republik Indonesia yang diperingati setiap tanggal 17 Agustus tersebut.

Sebagaimana diketahui, bahwa Proklamasi Kemerdekaan Indonesia dilaksanakan pada Jumat, 17 Agustus 1945 Tahun Masehi, yang dibacakan oleh Soekarno dengan didampingi oleh Mohammad Hatta di sebuah rumah hibah dari Faradj Martak di Jalan Pegangsaan Timur Nomor 56, Jakarta Pusat.

Sedangkan, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), makna “kemerdekaan” adalah keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya); kebebasan. Merdeka berarti bebas 

Lantas kebebasan yang dimaksud saat ini, apakah sudah dirasakan seluruh anak bangsa dari berbagai latar disiplin serta kultur yang menjadi entitas mereka?!

Baca juga: Bincang Komunitas Merdeka Belajar Bersama Nadiem Makarim, Bergerak Berdaya Bersama

Penjual bendera merah putih Rahmad Nika Hidayat di ruang terbuka hijau atau RTH Imam Bonjol Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) saat melayani pembeli, Senin (15/8/2022)
Penjual bendera merah putih Rahmad Nika Hidayat di ruang terbuka hijau atau RTH Imam Bonjol Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) saat melayani pembeli, Senin (15/8/2022) (TRIBUNPADANG.COM/RIMA KURNIATI)

Penulis terusik membaca catatan sejarah, dari sejawat Pemimpin Redaksi Bangka Pos, Tribun Network Kompas Gramedia, Ibnu Taufik Juwariyanto, yang menulis artikel berjudul:  Merah Putihku Setengah Tiang.

Dia mengenang sebuah tragedi yakni tepatnya tanggal 13 Agustus 1996. Malam sekitar pukul 21.30, seorang wartawan Bernas bernama Fuad Muhammad Safruddin alias Udin pulang dari kantornya di Jalan Jenderal Sudirman Nomor 52 Yogyakarta menuju ke rumahnya di Bantul, Yogya Selatan.

Beberapa saat setiba di rumah, Udin kedatangan tamu yang konon disebut Marsiyem, istri Udin, terdiri dari dua laki-laki. Tanpa curiga, Mbak Marsiyem kemudian memanggil suaminya dan memberitahukan tentang keberadaan dua tamu yang menunggu di depan pintu.

Marsiyem masuk disusul Udin yang keluar menemui tamu tersebut. Sejurus kemudian Marsiyem mendengar beberapa kali suara di depan rumah.

Sangat singkat. Begitu Marsiyem melihat keadaan, Udin sudah dalam keadaan tersungkur di depan pintu. Sebagaimana dipertegasnya, bagian tersebut barangkali tak perlu saya perpanjang kisahnya.

Singkat cerita, sejak tanggal 13 Agustus itu Udin tak pernah sadar dari koma. Udin akhirnya mengembuskan napas terakhir di RS Bethesda Yogyakarta pada 16 Agustus 1996 sore dan dimakamkan keesokan harinya pada 17 Agustus 1996.

Bagi penulis, tragedi berdarah yang hingga kini masih senyap dan tabirnya masih gulita itu, menginspirasi untuk memilih profesi sebagai pekerja pers (baca: jurnalis). Persis Tahun 1996, selepas menyelesaikan studi Ilmu Sejarah Fakultas Sastra Universitas Andalas (Unand) lalu merantau dari kampung halaman Sumatera Barat (Sumbar) ke Sumatera Selatan (Sumsel).

Kendati terbilang merantau, yang relatif dekat dari segi jarak dan waktu tempuh dibanding para perantau urang awak Minang yang menyeberang ke Pulau Jawa hingga manca negara tentunya. Namun, ada satu pembuktian, dari egaliterian yang terpateri dalam diri penulis ketika itu.

Bahwasanya, prinsip untuk keluar dan tidak jago kandang alias menolak sebatas katak dalam tempurung. Beban mental dan kungkungan untuk merdeka dari seorang anak bangsa itu, terasakan bukan mau puas pada satu titik pencapaian menyelesaikan studi sarjana Strata 1 (S1) pada 1996.

Selanjutnya, tekad untuk meretas perjalanan sebagai seorang jurnalis yang merdeka itulah yang membuat penulis ingin menempatkan diri jauh dari kampung halaman. Singkatnya, saat profesi Jurnalis yang telah mendarah-mendaging hingga saat ini kembali mengingatkan penulis akan tragedi Almarhum Udin.

Berdasar catatan tentang kasus Udin ini, apabila kembali dikupas maka besar kemungkinan takkan pernah tuntas dan bahkan jika ditulis dalam perspektif saat ini. Iwan Fals bahkan menciptakan lagu khusus untuk kasus ini dengan berjudul 'Matinya Seorang Penyaksi.'

Kasus Udin adalah momentum abadi dari potret buram kebebasan Pers Indonesia, tetapi juga bukti belum merdekanya insan pers hingga saat. Hanya segelintir saja setiap Agustus, sejumlah elemen organisasi profesi selalu mengisinya dengan unjuk rasa atau kajian tertentu yang memeringati tragedi gugurnya Udin.

Bahkan keberadaan organisasi profesi wartawan maupun jurnalis barangkali memang masih lemah untuk mendesak pengungkapan kasus ini. Kendati masih ada seremoni peringatan dan gerakan wujud solidaritas atas gugurnya Udin masih sayup terdengar. 

Bersamaan momentum HUT ke-77 Kemerdekaan RI, ada sesuatu yang masih menyesak terasa menusuk ulu hati penulis, yakni betapa perihnya untuk mengurai keadilan dalam konteks kemerdekaan.

Padahal, harapan para pendiri bangsa dan negara dalam memperjuangkan kemerdekaan bangsa ini, berbanding lurus dengan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (*)

Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved