Ramadhan 2022

Mengenal Masjid Raya Gantiang di Kota Padang, Sumbar: Kemedikbud RI Tetapkan sebagai Cagar Budaya

HINGGA saat ini keberadaan Masjid Raya Gantiang diperkirakan merupakan yang rumah ibadah terbilang tua di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar

Penulis: Panji Rahmat | Editor: Emil Mahmud
TRIBUNPADANG.COM/RAHMAT PANJI
Masjid Raya Gantiang berada di Jalan Raya Ganting Nomor 10, Kelurahan Ganting, Kecamatan Padang Timur, Kota Padang. 

HINGGA saat ini keberadaan Masjid Raya Gantiang diperkirakan merupakan yang rumah ibadah terbilang tua di Kota Padang, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar).

Hal ini dibuktikan dari tahun berdirinya pada Tahun 1805, bukti lain adalah tempat masjid ini berdiri juga diberi nama Jalan Ganting. Persisinya di Jalan Ganting Nomor 1  Kecamatan Padang Timur Kota Padang, Provinsi Sumbar.

Kurang lebih usia Masjid Raya Gantiang sudah berusia 217 tahun, bahkan masjid tersebut sudah  ditetapkan sebagai cagar budaya oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Republik Indonesia (RI).

Penetapannya tercantum dalam Surat Keterangan (SK) no : PM.54/PW.007/MKP/2010 ditetapkan pada 22 Juni 2010 lalu.

Masjid Raya Gantiang berada di Jalan Raya Ganting Nomor 10, Kelurahan Ganting, Kecamatan Padang Timur, Kota Padang.
Masjid Raya Gantiang berada di Jalan Raya Ganting Nomor 10, Kelurahan Ganting, Kecamatan Padang Timur, Kota Padang. (TRIBUNPADANG.COM/RAHMAT PANJI)

Wakil ketua pengurus Masjid Raya Gantiang Almijum (43) mengatakan bahwa masjid ini sudah berdiri sejak zaman Belanda.

"Sejak 2010 Masjid Raya Gantiang juga sudah ditetapkan sebagai cagar budaya," kata Almijum, Rabu (6/4/2022).

Berdirinya Masjid Raya Gantiang ini kata Almijum merupakan pengganti dari masjid yang terbuat dari bahan kayu dan atap rumbia, berlokasi di tepi Sungai Batang Arau Tahun 1790.

Namun kemudian masjid itu dirobohkan Belanda untuk pembuatan jalan ke Pelabuhan Teluk Bayur.

"Sebagai gantinya pada tahun 1805 didirikan Masjid Raya Ganting," terang Almijumnya.

Pembangunan masjid ini prakarsa tokoh masyarakat setempat yaitu Angku Gapuak (saudagar), Angku Syeh Haji Uma (tokoh masyarakat), dan Angku Syeh Kepalo Koto (ulama).

Masjid didirikan di atas tanah wakaf dari masyarakat Suku Chaniago dan biayanya diperoleh dari para saudagar yang berasal dari Padang, Sibolga, Medan, Aceh, dan ulama Minangkabau.

Pembangunan masjid didukung oleh Korp Zeni Belanda. Selain bantuan dan kerjasama dengan pihak Belanda, etnis Cina dipimpin Kapten Lou Chianko (Kapitan Cina ke-10) ikut mengarahkan tukang Cina untuk pembangunan.

"Etnis Cina ini membantu pembuatan atap yang sampai saat ini masih terlihat arsitekturnya," jelas Almijum.

Sementara itu, tukang dari etnis Cina ini mengerjakan atap segi delapan yang merupakan ciri khas atap bangunan vihara.

Selain kubah, tukang etnis Cina juga menggarap mihrab, mimbar, dan tempat bilal.

Halaman
12
Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved