Opini Citizen Journalism
Cerdas dalam Berbahasa: Sempurna Perkembangan Akal Budinya, dan Punya Pemikiran yang Tajam
KEMULIAAN itu karena adab kesopanan (budi pekerti), bukan karena nasab (keturunan)-Anonim Kutipan
Revita (2020) menjelaskan bahwa bahasa yang baik itu berhubungan dengan berbahasa sesuai konteks dan bahasa yang benar itu berbahasa yang memenuhi kaidah tata bahasa.
Bahasa yang baik belum tentu benar dan bahasa yang benar juga belum tentu baik. Misalnya, adalah ketika komunikasi melibatkan dua orang bersahabat akrab, bahasa yang digunakan akan bersifat intimate dan akan menjadi tidak baik saat digunakan bahasa yang formal dan memenuhi kadiah tata bahasa Indonesia.
Demikian juga halnya dalam situasi formal, sangatlah tidak benar kalau digunakan bahasa daerah atau bahasa kasual ketika berkomunikasi.
Kemampuan memilih dan menentukan bahasa yang baik dan benar ini bertemalai erat dengan kecerdasan bahasa.
Seseorang dituntut untuk dapat memilih tuturan yang patut dan pantas. Inilah yang juga dinamakan kepatutan dan kepantasan dalam berbahasa (Revita, 2019).
Kepatutan dan kepantasan ini mungkin yang sering terabaikan. Tidak jarang ditemukan seseorang bertutur yang seenak hati sehingga membuat orang yang mendengarnya menjadi sedih, terluka, dan tersakiti.
Untuk menentukan bahasa yang patut dan pantas ini, diperlukan adanya konteks. Konteks menjadi wadah sebuah pertuturan (Revita, 2022).
Konteks ini menjadi pondasi dalam komunikasi dengan memperhatikan banyak aspek, seperti siapa yang menjadi mitra tutur, topik yang dibicarakan, tempat pertuturan dilaksanakan, dan banyak lagi aspek lainnya.
Orang cerdas memiliki kemampaun ini. Hal ini berhubungan dengan kematangan dalam berpikir dan kematangan di akal budi.
Mereka tidak hanya menggunakan otak dalam berpikir tetapi hati yang menjadi konsiderasi utama saat berbahasa. Banyak pertimbangan dilakukan agar orang lain tidak tersakiti oleh bahasa yang diproduksi.
Potensi orang lain tidak nyaman saat komunikasi dilakukan sangat tinggi karena melibatkan dua individu yang tidak sama.
Baca juga: FIB Unand Ajukan Program Studi Sastra Indonesia, dan Sastra Jepang untuk Berakreditasi Internasional
Baca juga: Pemkab Dharmasraya dan FIB Unand Jajaki Kerja Sama, Targetkan Pemajuan, dan Pelestarian Budaya lokal
Ketidaksamaan ini menjadi bibit perbedaan dalam pemahaman. Oleh karena itu, Revita (2014) secara tegas menyebutkan berkomunikasi tanpa konteks diibaratkan menginjak ujung cangkul yang bisa saja tangkainya memukul kening sendiri.
Jadi, cerdas dalam berbahasa itu erat kaitannya dengan implementasui kalbu dalam berkomunikasi.
Berpikir menggunakan hati sehingga setiap kata yang diproduksi memiliki daya manfaat yang lebih tinggi bukan daya menyakiti atau melukai.
Untuk menjadi cerdas dalam berbahas tidaklah sulit sejauh penutur mau berhati-hati dan teliti dalam berbahasa.
Ada banyak jalan ke Roma dan ada banyak strategi dalam berkomunikasi. Ada baiknya kita memilih strategi yang tepat sehingga maksud penutur dapat ditangkap secara utuh dan multitafsir bisa dihindarkan.(*)