Opini Citizen Journalism

Cerdas dalam Berbahasa: Sempurna Perkembangan Akal Budinya, dan Punya Pemikiran yang Tajam

KEMULIAAN itu karena adab kesopanan (budi pekerti), bukan karena nasab (keturunan)-Anonim Kutipan

Editor: Emil Mahmud
tribunnews
Ilustrasi daya ingat otak (NYMag) 

Oleh, Ike Revita, Dosen Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas (Unand)

KEMULIAAN itu karena adab kesopanan (budi pekerti), bukan karena nasab (keturunan)-Anonim

Kutipan ini penulis temukan saat berselancar di dunia maya. Entah siapa yang pertama kali menyatakannya, yang jelas kalimat bijak dalam Bahasa Arab.

Hal tersebut, kemudian menginspirasi penulis untuk menulis dengan judul ‘Cerdas dalam Berbahasa’.

Cerdas secara semantik diartikan sebagai sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir dan mengerti) dan  tajam pikiran.

Orang yang cerdas dapat dimaknai sebagai mereka yang memiliki kesempurnaan di akal budi serta memiliki pemikiran yang tajam.

Bahasa merupakan alat komunikasi berupa simbol yang bersifat arbitrer (Wardaugh, 1989; Revita, 2008). Berbahasa  adalah menggunakan bahasa.

Dengan demikian, judul tulisan ini ‘Cerdas dalam Berbahasa’ dapat dimaknai sebagai kesempurnaan daya pikir seseorang melalui akal budinya dalam  menggunakan bahasa.

Baca juga: Dies Natalis ke-40 FIB Unand, Luncurkan Anugerah Kebudayaan hingga Bakal Tampilkan 40 Judul Buku 

Bagaimana caranya supaya cerdas dalam berbahasa?

Untuk menjawab pertanyaan ini, penulis akan memulainya dengan dua buah kisah. Kisah pertama adalah yang terjadi pada seorang mahasiswa yang harus menerima penundaan ujian kompre, karena kurang cerdas dalam berbahasa.

Berawal dari telepon si mahasiswa kepada dosen dengan tujuan mengingatkan dosen ini terkait jadwal komprenya. Mahasiswa ini menyampaikan dengan cara memerintah.

Ending-nya adalah ujian mahasiswa ini terpaksa dijadwal ulang karena si dosen merasa perlu adanya tindakan edukasi pada mahasiswa tersebut.

Kisah kedua adalah ketika seorang pegawai kontrak yang tidak diperpanjang kontraknya, karena kegagalan dalam berkomunikasi yang baik dan benar.

Pegawai ini lupa bahwa dia berbicara dengan atasan top di kantor tersebut. Sopan dan santun diabaikan. Akibatnya adalah masa kerjanya diperpendek alias dipecat.

Dua kejadian ini menunjukkan betapa pentingnya menjaga bahasa. Sangat perlu memahami bahasa yang baik dan benar.

Revita (2020) menjelaskan bahwa bahasa yang baik itu berhubungan dengan berbahasa sesuai konteks dan bahasa yang benar itu berbahasa yang memenuhi kaidah tata bahasa.

Bahasa yang baik belum tentu benar dan bahasa yang benar juga belum tentu baik. Misalnya, adalah ketika komunikasi melibatkan dua orang bersahabat akrab, bahasa yang digunakan akan bersifat intimate dan akan menjadi tidak baik saat digunakan bahasa yang formal dan memenuhi kadiah tata bahasa Indonesia.

Demikian juga halnya dalam situasi formal, sangatlah tidak benar kalau digunakan bahasa daerah atau bahasa kasual ketika berkomunikasi.

Kemampuan memilih dan menentukan bahasa yang baik dan benar ini bertemalai erat dengan kecerdasan bahasa.

Seseorang dituntut untuk dapat memilih tuturan yang patut dan pantas. Inilah yang juga dinamakan kepatutan dan kepantasan dalam berbahasa (Revita, 2019).

Kepatutan dan kepantasan ini mungkin yang sering terabaikan. Tidak jarang ditemukan seseorang bertutur yang seenak hati sehingga membuat orang yang mendengarnya menjadi sedih, terluka, dan tersakiti.

Untuk menentukan bahasa yang patut dan pantas ini, diperlukan adanya konteks. Konteks menjadi wadah sebuah pertuturan (Revita, 2022).

Konteks ini menjadi pondasi dalam komunikasi dengan memperhatikan banyak aspek, seperti siapa yang menjadi mitra tutur, topik yang dibicarakan,  tempat pertuturan dilaksanakan, dan banyak lagi aspek lainnya.

Orang cerdas memiliki kemampaun ini. Hal ini berhubungan dengan kematangan dalam berpikir dan kematangan di akal budi.

Mereka tidak hanya menggunakan otak dalam berpikir tetapi hati yang menjadi konsiderasi utama saat berbahasa. Banyak pertimbangan dilakukan agar orang lain tidak tersakiti oleh bahasa yang diproduksi.

Potensi orang lain tidak nyaman saat komunikasi dilakukan sangat tinggi karena melibatkan dua individu yang tidak sama.

Baca juga: FIB Unand Ajukan Program Studi Sastra Indonesia, dan Sastra Jepang untuk Berakreditasi Internasional

Baca juga: Pemkab Dharmasraya dan FIB Unand Jajaki Kerja Sama, Targetkan Pemajuan, dan Pelestarian Budaya lokal

Ketidaksamaan ini menjadi bibit perbedaan dalam pemahaman. Oleh karena itu, Revita (2014) secara tegas menyebutkan berkomunikasi tanpa konteks diibaratkan menginjak ujung cangkul yang bisa saja tangkainya  memukul kening sendiri.

Jadi, cerdas dalam berbahasa itu erat kaitannya dengan implementasui kalbu dalam berkomunikasi.

Berpikir menggunakan hati sehingga setiap kata yang diproduksi memiliki daya manfaat yang lebih tinggi bukan daya menyakiti atau melukai.

Untuk menjadi cerdas dalam berbahas tidaklah sulit sejauh penutur mau berhati-hati dan teliti dalam berbahasa.

Ada banyak jalan ke Roma dan ada banyak strategi dalam berkomunikasi. Ada baiknya kita memilih strategi yang tepat sehingga maksud penutur dapat ditangkap secara utuh dan multitafsir bisa dihindarkan.(*)

 

 

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved