Soal Pembatalan SKB 3 Menteri Tentang Penggunaan Seragam di Sekolah, KPAI Sikapi Putusan MA

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyikapi putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB

Editor: Emil Mahmud
ISTIMEWA/WIKI/TRIBUNNEWS
Ilustrasi: Gedung Mahkamah Agung 

Ketentuan dalam SKB 3 Menteri tersebut, kata Retno, secara prinsip mengatur bahwa peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan berhak memilih antara seragam dan atribut tanpa kekhususan agama, atau seragam dan atribut dengan kekhususan agama. 

"Dengan kata lain, hak untuk memakai atribut keagamaan merupakan wilayah individual. Individu yang dimaksud adalah guru, murid, dan orang tua, bukan keputusan sekolah negeri tersebut," kata Retno.

Keenam, kata Retno, SKB 3 Menteri tersebut sudah sesuai dengan Hak Asasi Manusia (HAM) dan sejalan dengan UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak di mana ketentuan SKB menjamin bahwa Pemerintah Daerah dan sekolah tidak boleh mewajibkan ataupun melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama. 

Artinya, lanjut dia, peserta didik maupun pendidik yang sudah mengenakan jilbab karena kesadaran dan keinginannya sendiri dapat menggunakan jilbab. 

"Bagi yang belum siap mengenakan atau tidak bersedia mengenakan jilbab juga diperbolehkan," kata dia. 

Ketujuh, lanjut Retno, ketentuan SKB 3 Menteri yang tidak mewajibkan dan tidak melarang seragam dan atribut dengan kekhususan agama  sejalan dengan prinsip “kepentingan terbaik bagi anak” sebagaimana diamanatkan dalam Kovensi Hak Anak (KHA). 

Menurut KPAI, kebijakan tersebut akan sangat berdampak positif bagi tumbuh kembang anak, terutama anak-anak perempuan, baik secara fisik maupun mental. 

Berdasarkan hasil pengawasan KPAI terhadap anak-anak korban, kata Retno menunjukkan ada beberapa kasus yang menunjukan anak-anak perempuan mengalami bullying dalam bentuk kekerasan verbal dan kekerasan psikis karena tidak menggunakan jilbab. 

Contohnya, kata dia, kasus seorang siswi di SMAN 1 Sragen, Jawa Tengah yang mengalami pembullyan oleh kakak kelasnya lantaran tak berjilbab, baik kekerasan verbal secara langsung maupun cyber bully melalui media social.

"Korban akhirnya memilih pindah sekolah, karena mengalami trauma," kata Retno.

Selain itu, KPAI juga memcatat ada puluhan kasus anak perempuan yang mengalami gangguan kesehatan mental dan mendapatkan dukungan pemulihan dari psikolog Jabar Masagi di mana anak-anak perempuan tersebut menjadi tidak percaya diri, bahkan depresi dan hendak melakukan percobaan bunuh diri.

Puluhan anak-anak tersebut, kata Retno, juga mengalami pembullyan dari lingkungannya akibat tidak berjilbab, bahkan menjadi cemas karena ada ancaman bahwa kalau dia tidak berjilbab akan menyeret ayahnya dan saudara laki-lakinya ke neraka. 

Mereka, kata dia, juga tertekan karena dinilai belum dapat hidayah dalam berpakaian dan dianggap bukan wanita baik-baik.

"Atas pertimbangan-pertimbangan tersebut, KPAI mendorong Kemdikbudristek, Kementerian Agama dan Kementerian Dalam Negeri untuk terus mencari jalan lain demi melindungi anak-anak perempuan Indonesia dari pemaksaan maupun pelarangan mengenakan seragam sekolah dan atribut kekhasan agama di Sekolah-sekolah  Negeri yang diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah," kata Retno.

Mahkamah Agung (MA) telah membatalkan Surat Keputusan Bersama (SKB) tiga menteri tentang penggunaan pakaian seragam dan atribut bagi peserta didik, pendidik, dan tenaga kependidikan di lingkungan sekolah yang diselenggarakan pemerintah daerah pada jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Sumber: Tribunnews.com
Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved