Makam Menggelembung
Hasil Penelitian Sementara Ahli Geologi Soal Makam Menggelembung 1,5 Meter di Padang Pariaman
Hasil Penelitian Sementara Ahli Geologi di Makam Menggelembung 1,5 Meter di Padang Pariaman
Penulis: Rizka Desri Yusfita | Editor: afrizal
Laporan Wartawan TribunPadang.com, Rizka Desri Yusfita
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Ahli geologi Ade Edwar telah mengecek tanah makam yang tiba-tiba meninggi hingga 1,5 meter di Padang Pariaman, Sumatera Barat (Sumbar).
Ia menjelaskan, hasil pengamatan dari permukaan dan informasi dari masyarakat setempat, makam tersebut membesar dalam beberapa bulan terakhir.
"Sebelumnya itu adalah lekukan. Saya cek tanahnya berupa tanah dengan pasir dan kerikil berwarna cenderung hitam," kata Pakar dari Ikatan Ahli Geologi Indonesia Sumbar ini, Rabu (31/3/2021).
Baca juga: Silsilah Pemilik Makam Mengelembung di Padang Pariaman Ditelusuri, Meluruskan Asumsi di Media Sosial
Baca juga: Soal Makam Menggelembung di Padang Pariaman, Ahli Geologi Sebut Merupakan Fenomena Alam Biasa
Baca juga: Makam Menggelembung di Padang Pariaman Ramai Dikunjungi, Wali Korong: Jangan Menaruh Uang
Menurutnya, tanah makam itu memang material hasil produk Gunung Tandikat yang merupakan litologi tanah daerah setempat, tidak material lain.
Akan tetapi yang di makam itu, tingkat pelapukannya lebih rendah sehingga berwarna lebih hitam.
Sementara di permukaannya, tingkat pelapukannya lebih tinggi sehingga berwarna kecoklatan.
Berdasarkan catatan terakhir, tanah makam itu meninggi lebih dari 1,3 meter.
Selain itu, dia menyebut lebar makam yang meninggi mencapai 6,5 meter dan panjang 8,5 meter.
Kemudian, batu nisan kuburan tersebut bukan batu nisan cetak.
Apalagi, umumnya batu nisan makam di lokasi tersebut batu alam, tidak sembarangan.
Baca juga: Silsilah Pemilik Makam Mengelembung di Padang Pariaman Ditelusuri, Meluruskan Asumsi di Media Sosial
Baca juga: Viral 3 Makam di Padangpariaman Tiba-tiba Meninggi hingga 1,5 Meter, Tak Ada yang Tahu Kuburan Siapa
Secara geologi disebut batu andesit dengan struktur Columnar joint (kekar kolom).
Itu secara alamiah berbentuk segi dengan kolom-kolom memanjang.
Batu tersebut kemungkinan besar dapat ditemukan dari daerah Kayu Tanam, Lubuk Alung, Sicincin dan daerah perbukitan sekitarnya.
Ade Edward menegaskan, pihaknya belum memastikan atas nama siapa makam tersebut.
Sudah ditanya ke kaum, silsilahnya mereka juga tidak tahu.
"Secara umum, kita belum bisa menyimpulkan. Ada beberapa kemungkinan, ada sesuatu yang mendorong dari bawah, apapun bentuknya, perlu dilakukan rekaman bawah permukaan," ungkapnya.
Dijelaskannya, rekaman bawah tanah dilakukan agar bisa tahu ada apa di bawah tanah makam tersebut.
Peralatannya dibantu dari BPBD dan ahli geologi dari Kementerian ESDM, teknologinya georadar.
Baca juga: UPDATE Makam Meninggi di Padang Pariaman, Wali Korong: Pandam Pekuburan Sudah Puluhan Tahun
"Itu bisa merekam sehingga nampak lapisan tanah di bawahnya sehingga punya data pasti untuk mengambil kesimpulan," terang Ade Edward.
Menurut Ade Edward, penelitian itu tidak membutuhkan waktu yang lama karena lokasinya tidak besar dan relatif terbuka.
Alat tersebut akan didorong dan dijalankan di atas tanah makam.
Meski alatnya kecil berukuran 40X40 sentimenter, peneliti tetap hati-hati.
"Persoalannya melintasi makam itu dianggap tabu sehingga kita sangat hati-hati menyampaikan kepada masyarakat setempat terutama kepada kaum suku Panyalai."
"Alhamdulilah, komunikasi kita lancar dan secara prinsip oke. Nanti akan kita tempuh mekanisme resmi dan berjenjang," tutur Ade Edward.
Dalam hal pengurusan izin, kata Ade Edward, sedang dalam proses.
Georadar pun dikirim dari Jakarta. Ditargetkan beberapa minggu ke depan bisa selesai.
Sementara itu, perkembangan tanah makam itu akan terus dimantau.
Jika aktivitasnya cepat membesar, menyusut, atau turun tiba-tiba, itu berpotensi ancaman bencana.
Oleh karena itu, perlu berkoordinasi dengan BPBD setempat.
"Ancaman bencana, termasuk bisa berupa semburuan lumpur, pasir, dan ada tekanan dari bawah ke atas dan bisa merusak lingkungan setempat."
"Kalau ada perubahan mendadak, cepat diantisipasi. Kalau tidak berkembang lagi, tidak apa-apa."
"Kita rawat saja, ini sebuh fenomena yang menarik dan juga dapat menarik wisatawan. Masyarakat juga cukup kondusif, mudah-mudahan tidak terjadi apa apa," harap Ade Edward.
Ade Edward mengungkapkan, fenomena serupa sering ditemukan di daerah lainnya.
Ada proses naiknya tanah atau batuan dari lapisan bawah ke atas.
Hal itu bisa karena proses tektonik, tertekan ke atas.
Bisa juga Diapir akibat perbedaan gaya beratnya atau berat jenis.
Kalau berat jenis yang di bawah lebih ringan, cenderung mendorong ke atas.
Lalu bisa juga desakan mud volcano atau lumpur bertekanan seperti Lapindo.
Ade Edward menyatakan, berbagai macam kemungkinan bisa terjadi.
Karena dekat dengan Gunung Tandikat, bisa saja mud volcano, bisa juga lumpur sebangsa lempung, tanah liat yang bersifat mengembang.
Apabila kena air, lanjutnya, akan mengembang dan meresap ke atas.
"Banyak sekali hipotesanya. Ini yang harus dibuktikan dengan georadar. Kita imbau masyarakat tidak perlu khawatir."
"Gerakannya tidak cepat, masih begitu-begitu saja, tidak ada bahayanya (sementara). Malam juga tidak ada kejadian yang aneh-aneh. Masyarakat di sana tenang-tenang saja. Ini fenomena biasa," tutup Ade Edward. (*)