Kekerasan Seksual Berbasis Online Bermunculan Saat Pandemi, Nurani Perempuan: Korban Malu & Depresi

Kekerasan Seksual Berbasis Online Bermunculan Saat Pandemi, Nurani Perempuan: Korban Malu & Depresi

Penulis: Rima Kurniati | Editor: afrizal
tribunPadang.com/RimaKurniati
Jaringan Peduli Perempuan Sumbar menggelar aksi diam di Simpang DPRD Sumbar, Senin (8/3/2021). 

Laporan Wartawan TribunPadang.com, Rima Kurniati

TRIBUNPADANG.COM, PADANG- Direktur Nurani Perempuan Womens Crisis Center Rahmi Meri mengatakan, saat pandemi tidak hanya kekerasan seksual di ranah personal atau domestik, kekerasan seksual berbasis gender online juga banyak bermunculan.

Selama tahun 2020, Nurani Perempuan menerima 9 kasus pelaporan kekerasan berbasis gender secara online, yang umumnya dirasakan oleh mahasiswa.

Modus kekerasan berbasis online tidak hanya berupa pemerasan, namun juga mengancam menyebarkan video atau foto korban yang terbuka, sehingga korban tertekan.

Baca juga: WCC Nurani Perempuan: Selama 2021, Terjadi Lebih 20 Kasus Kekerasan Perempuan

Baca juga: Jaringan Peduli Perempuan Sumbar Gelar Aksi Diam di Padang, Tulisan Poster: Aku Diperkosa 9 Lelaki

Baca juga: WCC Nurani Perempuan Terima 9 Laporan Selama Pandemi, Kekerasan Seksual Berbasis Online Bermunculan

"Kekerasan seksual berbasis gender online juga banyak bermunculan, yang membuat korban malu, depresi dan tertekan berat," kata Rahmi Meri, Senin (8/3/2021).

Kekerasan berbasis gender secara online berkembang seiring semakin canggihnya teknologi, namun tidak diimbangi dengan pemahaman.

"Kecanggihan teknologi tidak berimbang dengan sosialisasi, bahwa bagian tubuh tertentu tidak boleh dipublikasi kepada orang lain, publikasi dan sosialisasi masih minim, sehingga masyarakat terjebak dengan ini," kata Rahmi Meri.

Ia menambahkan, saat pandemi kasus kekerasan banyak diterima korban, tidak hanya dalam hubungan pacaran, namun juga dalam hubungan penikahan.

Pada tahun 2020, sebanyak 94 kasus kekerasan seksual terhadap perempuan yang diterima Nurani Perempuan.

Sebetulnya angka ini menurun dibandingkan tahun sebelumnya, hal ini dikarenakan saat pandemi Covid-19, korban ketakutan mengakses lembaga pelayanan atau melakukan pelaporan.

"Ketika korban mengakses lembaga pelayanan, mereka ketakutan akan kembali mendapatkan kekerasan, sebab saat pendemi itu intensitas korban di rumah begitu tinggi bersama pelaku" kata Rahmi Meri.

Sementara tahun 2019, tecatat 103 kasus kekerasan yang diterima Nurani Perempuan, tahun 2018 sebanyak 132 kasus dan tahun 2017 sebanyak 154 kasus.

Ia menambahkan, data yang diterima Nurani Perempuan dari tahun 2017 sampai 2020 sudah lebih 509 kasus.

"Lima tahun itu, kami merasakan memang kasus kekerasan seksual itu, hampir 100 kasus setiap tahun yang diterima Nurani Perempuan," ungkapnya.

Menurutnya, sudah seharusnya rancangan Undang-undang penghapusan kekerasan terhadap perempuan atau RUU PKS disahkan DPR RI.

"DPR RI sampai saat ini belum membahas RUU PKS , tentu setelah masuk lagi Proleknas prioritas, kami ingin disahkan menjadi undang-undang, yang kedepan bisa memenuhi hak-hak korban, terutama pemulihan," tambahnya.

Ia berharap kedepan kasus kekerasan perempuan, serius ditangani serta masyarakat Sumbar tidak lagi menolak RUU PKS.

"Kami melihat, beberapa hari yang lalu, sejumlah kelompok menolak RUU PKS, namun mereka tidak mengetahui fakta kekerasan seksual yang terjadi," tambahnya.

Rahmi Meri juga berharap Pemrov Sumbar dan DPRD Sumbar mendorong DPR RI mengesahkan RUU PKS.

"RUU PKS inisiatif DPR, tidak ada perizinan pro zina, namun membuat negara kita bebas dari kekerasan seksual," tambahnya.(*)

Sumber: Tribun Padang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved