OPINI
Normal Baru dan Kontinuitas Pilkada
Opini Helmi Chandra SY, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta & Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)
Menghindari Politik Penjabat Kepala Daerah
Sejatinya penundaan pilkada hingga tahun depan sebagaimana diatur Perppu Nomor 2 Tahun 2020, bisa berdampak pada kekosongan jabatan di daerah. Setidaknya ada 207 kepala daerah baik gubernur, wali kota, atau bupati yang masa jabatannya akan habis pada Februari 2021 kemudian disusul sisanya yang habis di bulan berikutnya.
Sehingga saat masa jaba¬tan kepala daerah berakhir belum ada pasangan kepala daerah baru yang dipilih, maka pemerintah wajib menunjuk Penjabat (PJ) kepala daerah. Hal inilah yang secara politik banyak diperebutkan oleh partai politik pendukung pemerintah agar dapat memberi keuntungan electoral saat pemilihan nanti berlangsung.
Secara regulasi ketentuan PJ kepla daerah sudah diatur dalam Pasal 210 Ayat 10 dan Ayat 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang mengatur bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, penjabat diusulkan oleh Kemendagri kepada Presiden. Sehingga ini berarti Kemendagrilah yang menentukan siapa yang menjadi PJ di daerah.
Selain itu, merujuk kepada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 tahun 2019 yang mengatur tahapan Pilkada 2020, jangka waktu dari masa pendaftaran yang mengharuskan calon petahana melepaskan jabatannya sampai penetapan pemenang oleh KPU adalah lima bulan.
Berkaca ke pemilu-pemilu sebelumnya, jeda penetapan pemenang sampai pelantikan adalah 2 bulan. Maka, seorang Pjs di seluruh daerah harus menjabat selama 7 bulan. Berbeda jika Pikada 2020 berlangsung sesuai terjadwal, maka penjabat hanya berlaku bagi kepala daerah petahana yang mencalonkan diri kembali.
Untuk alasan menghindari politik pengisian PJ kepala daerah inilah pelaksanaan pilkada tahun ini tetap dilakukan meski dalam masa normal baru. Belajar dari pilkada sebelumnya penunjukan PJ kepala daerah menimbulkan banyak masalah seperti yang terjadi pada pilkada 2018 dimana, M. Iriawan yang merupakan perwira tinggi polisi diangkat menjadi PJ Gubernur Jawa Barat setelah Ahmad Heryawan habis masa jabatan.
Ombudsman RI saat itu menilai pengangkatan M. Iriawan melanggar Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Kedua Undang-Undang itu mengatur perwira polisi aktif dilarang berpolitik praktis, termasuk mengisi jabatan politik seperti PJ Gubernur.
Akhirnya pilihan untuk tetap melanjutkan pelaksanaan pilkada tahun ini tidak hanya akan membutuhkan anggaran yang berlebih. Namun yang paling penting adalah keselamatan rakyat sebagai pemilih serta kesiapan panitia pemilihan yang harus sesuai dengan protokol kesehatan. Tanpa jaminan itu semua, tidak akan ada gunanya memaksakan pilkada jika akhirnya nyawa rakyatlah yang menjadi tumbalnya. (*)
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/padang/foto/bank/originals/helmi-chandra-sy-ok.jpg)