OPINI

Normal Baru dan Kontinuitas Pilkada

Opini Helmi Chandra SY, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta & Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)

Editor: Saridal Maijar
Istimewa
Helmi Chandra SY 

Oleh: Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta & Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)

TRIBUNPADANG.COM - Di tengah pandemi covid-19 yang terjadi saat ini, kata new normal menyeruak ke permukaan dalam banyak perbincangan, mulai dari pejabat negara, wartawan, guru dan dosen hingga berbagai kalangan masyarakat. Lalu, apa sebenarnya new normal yang dimaksudkan?

New normal sejatinya merupakan perspektif berpikir dan berperilaku untuk tetap menjalankan aktivitas secara normal. Namun, ditambah dengan menerapkan protokol kesehatan seperti tetap memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak, guna mencegah terjadinya penularan covid-19.

Tatanan normal baru atau new normal tentu menjadi pilihan rasional saat ini agar ekonomi kembali menggeliat demi menopang kehidupan rakyat. Namun jika penerapannya tidak tepat, normal baru juga punya risiko besar menjadi bom waktu yang akan memperbanyak lagi tingkat penularan covid-19.

Hal ini nampak semakin beresiko saat pemerintah bersama Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) menyepakati untuk tetap menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2020 pada tahun ini.

Tahapan pilkada akan dimulai kembali pada 6 Juni 2020 dengan mengaktifkan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS), dimana waktu pemungutan suara dijadwalkan digelar pada 9 Desember 2020.

Keputusan ini diambil pemerintah dan DPR dengan dasar surat dari Gugus Tugas Percepatan Penanganan covid-19 yang memberikan masukan bahwa tahapan Pilkada 2020 dapat dilanjutkan dengan menerapkan protokol kesehatan karena pandemi covid-19 belum dapat dipastikan waktu berakhirnya.

Padahal melihat situasi virus covid-19 di Indonesia belum bisa dikatakan menurun, tercatat setidaknya hingga 1 Juni 2020, jumlah kasus covid-19 di Indonesia telah mencapai 26.940 kasus dengan rincian 7.637 orang pasien sembuh dan 1.641 orang pasien meninggal dunia (www.covid19.go.id).

Kondisi ini belum lagi ditambah oleh beban kerja KPU yang harus berburu dengan waktu untuk melakukan pembuatan serta pembahasan peraturan KPU (PKPU) sebagai tindak lanjut kontinuitas pilkada.

Pembengkakan Anggaran

Kepastian pelaksanaan pilkada saat masa normal baru covid-19 membawa dampak pada sisi anggaran. KPU mengajukan usul tambahan anggaran pelaksanaan pilkada sebesar Rp535,9 miliar dalam rapat Komisi II DPR dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), dan pemerintah yang diwakili Menteri Dalam Negeri, Rabu 27 Mei 2020.

Membengkaknya anggaran pilkada tersebut akan digunakan untuk pengadaan Alat Pelindung Diri (APD) bagi petugas pemilu dan pemilih seperti masker, pencuci tangan serta pelindung diri lainnya.

Jumlah awal yang dianggarkan untuk pilkada yang diterima KPU sekitar Rp10 triliun dan disepakati melalui naskah perjanjian hibah daerah (NPHD). Sehingga untuk itu, penyelenggaraan setiap tahapan pilkada harus menerapkan protokol pencegahan covid-19 dengan ketat.

Pembengkakan anggaran ini tentu bisa dihindari jika pilkada ditunda penyelenggaraannya hingga tahun depan karena kebutuhan APD yang mungkin tidak dibutuhkan lagi. Hal ini senada dengan makna politik anggaran yang merupakan suatu proses yang dimulai dengan membuat pilihan-pilihan di antara kemungkinan-kemungkinan pengeluaran, keseimbangan, hingga proses memutuskannya.

Di dalam proses anggaran publik bersifat terbuka dengan melibatkan berbagai aktor yang memiliki berbagai tujuan, menggunakan dokumen anggaran sebagai akuntabilitas publik, dan memerhatikan keterbatasan anggaran (Rubin, 1990). Sehingga penggunaan anggaran benar-benar efektif dan pelaksanaan pilkada sebagai demokrasi lokal menjadi salah satu tumpuan harapan rakyat untuk memajukan daerah masing-masing akan tercapai.

Menghindari Politik Penjabat Kepala Daerah

Sejatinya penundaan pilkada hingga tahun depan sebagaimana diatur Perppu Nomor 2 Tahun 2020, bisa berdampak pada kekosongan jabatan di daerah. Setidaknya ada 207 kepala daerah baik gubernur, wali kota, atau bupati yang masa jabatannya akan habis pada Februari 2021 kemudian disusul sisanya yang habis di bulan berikutnya.

Sehingga saat masa jaba¬tan kepala daerah berakhir belum ada pasangan kepala daerah baru yang dipilih, maka pemerintah wajib menunjuk Penjabat (PJ) kepala daerah. Hal inilah yang secara politik banyak diperebutkan oleh partai politik pendukung pemerintah agar dapat memberi keuntungan electoral saat pemilihan nanti berlangsung.

Secara regulasi ketentuan PJ kepla daerah sudah diatur dalam Pasal 210 Ayat 10 dan Ayat 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada, yang mengatur bahwa untuk mengisi kekosongan jabatan Gubernur, diangkat penjabat Gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya sampai dengan pelantikan Gubernur sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Kemudian untuk mengisi kekosongan jabatan Bupati/Walikota, diangkat penjabat Bupati/Walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama sampai dengan pelantikan Bupati, dan Walikota sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Lebih lanjut dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2015 tentang Pemerintahan Daerah, penjabat diusulkan oleh Kemendagri kepada Presiden. Sehingga ini berarti Kemendagrilah yang menentukan siapa yang menjadi PJ di daerah.

Selain itu, merujuk kepada Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 15 tahun 2019 yang mengatur tahapan Pilkada 2020, jangka waktu dari masa pendaftaran yang mengharuskan calon petahana melepaskan jabatannya sampai penetapan pemenang oleh KPU adalah lima bulan.

Berkaca ke pemilu-pemilu sebelumnya, jeda penetapan pemenang sampai pelantikan adalah 2 bulan. Maka, seorang Pjs di seluruh daerah harus menjabat selama 7 bulan. Berbeda jika Pikada 2020 berlangsung sesuai terjadwal, maka penjabat hanya berlaku bagi kepala daerah petahana yang mencalonkan diri kembali.

Untuk alasan menghindari politik pengisian PJ kepala daerah inilah pelaksanaan pilkada tahun ini tetap dilakukan meski dalam masa normal baru. Belajar dari pilkada sebelumnya penunjukan PJ kepala daerah menimbulkan banyak masalah seperti yang terjadi pada pilkada 2018 dimana, M. Iriawan yang merupakan perwira tinggi polisi diangkat menjadi PJ Gubernur Jawa Barat setelah Ahmad Heryawan habis masa jabatan.
Ombudsman RI saat itu menilai pengangkatan M. Iriawan melanggar Undang-Undang Nomor 2 tahun 2002 tentang Polri dan Undang-Undang Nomor 10 tahun 2016 tentang Pilkada. Kedua Undang-Undang itu mengatur perwira polisi aktif dilarang berpolitik praktis, termasuk mengisi jabatan politik seperti PJ Gubernur.

Akhirnya pilihan untuk tetap melanjutkan pelaksanaan pilkada tahun ini tidak hanya akan membutuhkan anggaran yang berlebih. Namun yang paling penting adalah keselamatan rakyat sebagai pemilih serta kesiapan panitia pemilihan yang harus sesuai dengan protokol kesehatan. Tanpa jaminan itu semua, tidak akan ada gunanya memaksakan pilkada jika akhirnya nyawa rakyatlah yang menjadi tumbalnya. (*)

Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved