Berita Sumatera Barat
Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Sumbar Jelaskan Virus ASF Penyebab Ribuan Babi Mati
Dari hasil pemeriksaan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), hingga kini jumlah ternak babi
Penulis: Rizka Desri Yusfita | Editor: Emil Mahmud
Laporan Wartawan TribunPadang.com, Rizka Desri Yusfita
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Dari hasil pemeriksaan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat (Sumbar), hungga kini jumlah ternak babi yang mati mencapai 7.500 ekor.
Kematian babi diduga akibat wabah penyakit yang menyerang atau Virus Demam Babi Afrika atau yang dikenal dengan African Swine Fever (ASF).
Terkait hal ini Kabid Keswan PKH Sumbar Zed Abbas mengatakan pihaknya sudah dua kali turun ke lokasi untuk melakukan investigasi.
Pihaknya mencoba membantu secara bersama-sama mengatasi penyakit yang menyerang babi-babi di Mentawai.
"Indikasi kita memang kuat ke ASF. ASF seperti yang sama terjadi di Sumatera Utara. Indikasinya begitu," kata Zed Abbas kepada TribunPadang.com, Rabu (11/3/2020).
Selain itu, dia mengatakan hasil laboratorium juga mengarah ke ASF.
• Ribuan Babi Mati di Sipora Mentawai, Diduga Akibat Wabah Virus Demam Babi Afrika
• Gempa Guncang Pesisir Selatan 4.7 M Akibat Aktivitas Sesar Mentawai, Getaran Dirasakan Hingga Padang
Dia menjelaskan tim provinsi pertama kali turun pada 26 Januari 2020. Hasil investigasi itu memang cenderung mengarah ke ASF didukung hasil laboratorium.
Pada 11 Februari tim kembali turun dengan tim gabungan terdiri atas Balai Karantina Pemprov, hingga Dirjen Kesehatan Hewan Pusat.
"Kami telah mengumpulkan dan minta bertemu dengan Wakil Bupati. Kami mengadakan rapat di sana lalu dibuatkan langkah bersama dan menyusun tim terpadu," jelas Zed Abbas.
Dikatakan, ada tim yang dibentuk di tingkat kabupaten bagaimana menyelematkan babi yakni Gerakan Masyarakat Selamatkan Babi di Mentawai.
Zed Abbas mengatakan, memang ada problem dalam mencegah virus ASF yakni sampai saat ini obatnya tidak ada.
Sejauh ini lanjutnya tentang vaksinnya belum ada yang bisa melindungi.
"Kami lebih banyak melakukan tindakan biosekuriti sehingga lebih banyak mempergunakan disinfektan," kata Zed Abbas.
Dikatakan, Zed Abbas pihaknya hanya mengatasi bagaimana virus supaya tidak sampai menular.
Sementara itu, imbuhnya babi yang masih hidup di Sipora harus dilindungi serta babi yang sudah terinfeksi segera diisolasi.
Sebelumnya, dikabarkan Ribuan hewan ternak Babi di Pulau Sipora, Tua Pejat, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumbar dilaporkan mati dalam kurun waktu yang relatif singkat baru-baru ini.
Dari hasil pemeriksaan Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Kepulauan Mentawai, hewan ternak Babi masyarakat yang mati mencapai 7.500 ekor.
Kematian babi diduga akibat wabah penyakit yang menyerang atau Virus Demam Babi Afrika atau yang dikenal dengan African Swine Fever (ASF).
Hal tersebut diungkapkan oleh Kepala Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Kepulauan Mentawai Hatisama Hura saat dihubungi TribunPadang.com, Selasa (10/3/2020) malam.
Hatisama Hura menjelaskan seekor babi tertular virus ASF memiliki gejala seperti mengalami demam, adanya warna kemerahan di sekitar telinga, perut, dan tidak bisa berdiri.
Hingga saat ini, ungkapnya terkadang gejala lain yang timbul yakni hilangnya nafsu makan.
"Hal yang jelas yakni ada proses sebelum seekor babi tersebut mati, bukan mati mendadak," tegas Hatisama Hura.
Dia menambahkan virus-virus itu menyebar lewat serangga, pakaian yang memelihara, dan daging yang belum dimasak.
• VIDEO - Warga Kabupaten Sijunjung Temukan Potongan Kerangka Manusia di Semak-semak
• Polisi Temukan Pakaian Dalam Wanita di Sekitar Temuan Potongan Kerangka Manusia di Sijunjung
Selain itu, ASF dapat ditularkan melalui kontak langsung dengan hewan yang terinfeksi.
"Menular dari sumber yang terinfeksi, terbawa ke daerah yang baru, sehingga menyebar," jelas Hatisama Hura.
Hatisama Hura juga menjelaskan virus ASF dapat bertahan hidup selama tiga tahun di suatu wilayah.
Karenanya, imbuh Hatisama Hura, untuk saat ini perlu upaya menurunkan risiko babi terserang virus ASF.
Di antaranya, biosekuriti yang ketat, tetap menjaga kebersihan kandang, penyemprotan disinfektan ke seluruh kandang, dan kebersihan petugas.
Selain itu, dia mengatakan babi yang mati harus dikubur agar virus tidak menyebar.
"Jadi sebenarnya, memang harus dibasmi semua, tetapi kita menenggang atau menimbang perekonomian masyarakat, ternak- ternak mereka juga masih ada," ungkap Hatisama Hura.
Menurut dia, kalau sudah terserang di suatu wilayah untuk mengantisipasi penyebarannya memang harus dibasmi.
Dia mengaku pihaknya sudah memberi tahu kepada masyarakat, bahwa yang menyerang ternak (babi) itu bentuk virus yang ditandai dengan gejala demam.
"Kami menyimpulkan ternak mati karena virus ASF dari hasil laboratorium veteriner dari rumah sakit hewan di Sumbar."
"Veteriner Bukittinggi sudah turun sekitar Februari lalu maupun dari Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Provinsi. Mereka mengambil sampel dan menyelidiki, setelah diselidiki positif ASF," ujar Hatisama Hura.
Hatisama Hura mengungkapkan kematian babi dalam kurun waktu yang singkat baru kali ini terjadi.
Dia mengatakan, memang ada penyakit-penyakit yang sifatnya Septicaemia Epizootica (SE), demam juga ada keluar darah tapi tak se menyebar kali ini.
"Kali ini mati semua meski tidak sekaligus matinya, namun proses penularannya berjalan," ucap Hatisama Hura.
Hatisama Hura mengatakan, rata-rata masyarakat (Sipora) beternak dua hingga 20 ekor babi karena mereka membaca peluang ekonomi di daerah tersebut.
Di samping digunakan untuk kebutuhan budaya di Mentawai yakni setiap pesta syukuran, babi juga dipakai untuk warga non muslim.
"Itu sangat memberikan peluang untuk perekonomian mereka dan untuk diperjual belikan," tuturnya.
Sejauh ini, lanjut Hatisama Hura belumlah ada vaksin yang dapat mencegah penularan virus tersebut.

Pihaknya menindaklanjuti antara lain peningkatan daya tahan tubuh babi dan menyuntik dengan vitamin.
"Kami sudah lakukan memang mati juga pada akhirnya karena memang belum ada yang pas obatnya," terang Hatisama Hura.
Hatisama Hura memastikan walaupun ASF berbahaya bagi babi, namun ia menegaskan bahwa penyakit ini tidak dapat ditularkan dari hewan ke manusia (bukan bersifat zoonosis).
Misalnya imbuh Hatisama Hura ada seekor babi terserang virus ASF tapi belum mati.
Sedangkan, untuk babi yang telah mati, dikatakan sudah bangkai namanya, tentu tidak bisa dimakan lagi.
Sebaliknya, kalau masih hidup lalu dipotong bisa dimakan, dengan catatan harus dimasak dengan suhu di atas 75 derajat celsius.
Jika bersifat zoonosis, dia mengatakan maka akan membawa dampak kepada manusia seperti Penyakit anthrax.
Hatisama Hura mengatakan virus ASF tak membuat Daging Babi di Pulau Sipora menjadi langka. (*)