AJI Jakarta : Penggunaan Rompi Bertuliskan Pers Saat Pemilu Dapat Menjadi Kritik Satir Bagi Aparat
Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Asnil Bambani Amri menilai penggunaan rompi bertuliskan pers saat Pemilu seperti wartawan perang dap
TRIBUNPADANG.COM - Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Asnil Bambani Amri menilai penggunaan rompi bertuliskan pers saat Pemilu seperti wartawan perang dapat menjadi kritik satir bagi aparat keamanan yang dinilainya gagal dalam menjaga keamanan jurnalis dalam peliputan.
Hal tersebut menarik untuk dilakukan meski awalnya hal tersebut hanya muncul dalam guyonan sesama jurnalis di lapangan.
"Rompi ini menarik. Awalnya kita melihat ini sebagai guyonan teman-teman di lapangan. Soal perlunya rompi bertuliskan pers seperti wartawan perang di Gaza sana. Tapi ini bisa menjadi semacam kritik yang bersifat satir. Satir kepada polisi. Aparat penegak hukum yang tidak bisa melindungi kita," kata Asnil.
Wacana penggunaan rompi tersebut muncul dari jurnalis yang mengikuti diskusi AJI Jakarta dan LBH Pers bertema “Intimidasi Jurnalis, Cederai Demokrasi” di sekretariat AJI Jakarta, Pancoran, Jakarta Selatan pada Minggu (3/3/2019).
Lebih jauh, ia bahkan juga mewacanakan untuk menggelar aksi peliputan dengan menggunakan tameng dan helm.
"Kalau perlu kita bawa tameng sendiri, bawa helm, bawa tameng. Ini tujuannya apa? Ini jadi satir, bahwasanya aparat hukum di Indonesia tidak bisa ngapa-ngapain melindungi jurnalis. Ini ide menarik," kata Asnil.
Meski begitu, ia mengatakan akan membahas gagasan tersebut lebih dulu di internal AJI Jakarta.
Oleh karena itu, ia meminta kepolisian untuk mengusut tuntas aksi kekerasan terhadap jurnalis Detik.com dan Suara.com pada saat acara Munajat 212 di Monas, Jakarta Pusat pada Kamis (21/2/2019).
"Tapi apakah kita perlu melakukan ini? Oleh karena itu kita minta kepolisian, tindak kasus ini, seret pelakunya ke pengadilan," kata Asnil.
Saat diskusi, ia memaparkan data AJI Indonesia terkait kekerasan terhadap jurnalis pada 2017 dan 2018.
"Tahun 2018 itu ada 64 kasus kekerasan terhadap jurnalis. Tahun 2017 itu hanya 60. Ada tren kenaikan. Dari kasus-kasus tersebut, 11 kasus pelarangan perliputan, ancaman teror. Perusakan alat liputan itu 10 kasus, pemidanaan 8 kasus. Juga termasuk doxing atau persekusi online itu ada 3 kasus yang menimpa wartawan Kumparan, Detik, dan CNN Indonesia," kata Asnil.