Keracunan MBG di Agam

Tragedi Nasi Goreng Program MBG di Kabupaten Agam, Menyingkap Rantai Keracunan Massal

Rabu, 1 Oktober 2025, seharusnya menjadi hari biasa yang menjanjikan bagi ribuan pelajar di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Penulis: Panji Rahmat | Editor: Rahmadi
TribunPadang.com/RahmatPanji
KERACUNAN MBG AGAM - Korban keracunan diduga akibat mengkonsumsi program Makanan Bergizi Gratis (MBG) terus berdatangan ke Puskesmas Manggopoh, Agam, Sumbar, Kamis (2/10/2025). Dalam rentang waktu kurang dari 48 jam, mulai Rabu sore hingga Jumat pagi, gelombang korban keracunan mayoritas adalah anak-anak usia TK hingga SMP membanjiri fasilitas layanan kesehatan setempat. 

TRIBUNPADANG.COM, AGAM - Rabu, 1 Oktober 2025, seharusnya menjadi hari biasa yang menjanjikan bagi ribuan pelajar di Kabupaten Agam, Sumatera Barat. Di bawah naungan program unggulan Makanan Bergizi Gratis (MBG), porsi nasi goreng lengkap dengan telur dadar, tahu goreng, dan lalapan (Selada dan tomat) disajikan.

Namun, hidangan yang dimaksudkan untuk menyehatkan itu justru memicu tragedi keracunan massal yang dengan cepat mengguncang daerah tersebut, membuka kotak Pandora masalah higienitas dan pengawasan yang kronis dalam pelaksanaan program.

Dalam rentang waktu kurang dari 48 jam, mulai Rabu sore hingga Jumat pagi, gelombang korban keracunan mayoritas adalah anak-anak usia TK hingga SMP membanjiri fasilitas layanan kesehatan setempat.

Pemerintah Kabupaten Agam mencatat total 122 korban keracunan telah ditangani, Jumat (3/10/2025), angka yang melonjak dari 78 korban yang terdata pada Rabu malam, menjadi 108 pada Kamis siang, dan terus bertambah.

Angka ini adalah representasi nyata dari krisis yang dengan cepat ditetapkan sebagai Kejadian Luar Biasa (KLB) oleh Bupati Agam, Benny Warlis.

Baca juga: Sempat Gantung Panci Imbas Covid-19 dan Nganggur, Junaedi Jadi Koki Lagi Berkat MBG

Dari Porsi Gizi ke Gejala Maut

Insiden keracunan dimulai tak lama setelah menu MBG didistribusikan oleh Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) Yayasan Peduli Karakter Anak (YPKA) di Nagari Kampung Tangah, Lubuk Basung.

Pada hari itu, SPPG YPKA mendistribusikan sebanyak 2.669 porsi menu nasi goreng ke 27 sekolah setingkat TK hingga SMP.

“Jumlah sejatinya 3500 porsi untuk 28 sekolah, tapi di hari kejadian ada satu sekolah libur. Makanya jumlahnya 2.669 porsi,” ujar ketua SPPG Aulia Korimah.

Dampak dari keracunan ini menyebar dengan cepat dan luas, memaksa korban berbondong-bondong dilarikan ke layanan kesehatan.

Per Jumat (3/10/2025), data dari Dinas Kominfo Agam mencatat penyebaran pasien di tiga fasilitas utama.

KERACUNAN MBG DI AGAM: Ketua SPPG Aulia Korimah
KERACUNAN MBG DI AGAM: Ketua SPPG Aulia Korimah (TribunPadang.com/Panji Rahmat)

Baca juga: LBH Padang: Kasus Keracunan MBG di Agam Bukan yang Pertama, Sudah Terjadi di Berbagai Daerah

Di Puskesmas Manggopoh, terdapat sebanyak 70 pasien yang telah mendapat penanganan, dengan rincian 66 orang anak dan empat pasien dewasa.

Tujuh dari pasien ini harus dirujuk ke fasilitas yang lebih besar, yakni empat ke RSUD Lubuk Basung dan tiga ke Puskesmas Lubuk Basung.

Sementara itu, RSUD Lubuk Basung menangani total 45 pasien yang terdata, terdiri dari 40 pasien anak dan lima orang dewasa.

Kepala Bidang Sarana (KTU) RSUD Lubuk Basung, Arno, merinci bahwa total 47 pasien telah ditangani sejak Rabu hingga Kamis. Setelah penanganan awal, 26 pasien dinyatakan sehat dan 8 pasien kemudian diizinkan pulang.

“Sisa, sebanyak 12 pasien masih menjalani perawatan intensif di ruang rawat inap hingga Jumat pagi, berjuang melawan gejala mual yang masih mereka rasakan,” ujar Kepala Bidang Sarana (KTU) RSUD Lubuk Badung Arno.

Kondisi yang memerlukan observasi ketat ini menunjukkan bahwa keracunan yang diderita tidaklah ringan, dan tenaga medis harus memastikan perbaikan kondisi secara bertahap sebelum mereka diizinkan kembali ke rumah.

Baca juga: MBG Selamatkan Hidup Ibu Tunggal Hamil di Tangsel, Sedih Dengar Pihak Minta Program Disetop

Di RSIA Rizki Bunda, tujuh pasien anak juga sempat menjalani perawatan, di mana tiga masih dirawat dan dua lainnya menjalani rawat jalan.

Kesaksian Siswa, Ayam Berdarah dan Telur Menghitam

Jauh sebelum tragedi nasi goreng ini, telah ada firasat buruk yang sayangnya terabaikan, mengindikasikan bahwa masalah higienitas dan kualitas makanan mungkin sudah berakar lama.

Hanifa, seorang siswi kelas 1 SMP sekaligus penerima manfaat MBG, menyingkap kisah makanan yang rutin ia temui sejak program dimulai pada September 2025.

Ia mengaku pernah menemukan ayam yang masih berdarah, nasi yang keasinan, hingga lauk pauk yang mulai mengeluarkan bau tak sedap.

Temuan ini adalah alarm keras mengenai buruknya kontrol kualitas bahan baku dan proses pengolahan di dapur penyedia.

Baca juga: LBH Padang Minta Program MBG Dievaluasi Usai Kasus Keracunan di Agam, Pelaksanan Dinilai Serampangan

Puncak kecurigaan terjadi pada menu hari Rabu itu. Hanifa melihat telur dadar yang disajikan memiliki warna yang agak menghitam, meskipun ia yakin itu bukan gosong. Karena tidak ada rasa aneh saat disantap, ia menghabiskannya, sebuah keputusan yang fatal.

“Malamnya (Rabu) hingga Kamis pagi, saya muntah-muntah, pusing, dan demam, sehingga harus dilarikan ke Puskesmas Manggopoh,” ujarnya.

Kisah lain datang dari seorang guru TK Aisyah Kampung Tangah, Weri Oktavia, yang juga menjadi korban. Sebagai pendidik, Weri menjalankan prosedur dengan mencicipi menu nasi goreng pada Rabu pagi sebelum disajikan kepada 15 muridnya sekitar pukul 09.00 WIB. Anehnya, Weri tidak menemukan masalah.

"Kalau secara rasa, bentuk dan bau tidak ada masalah. Saat saya cicipi semuanya tidak menandakan makanan kedaluwarsa," ujarnya saat diwawancarai dalam kondisi terbaring.

Merasa aman, makanan itu dibagikan. Namun, malam harinya, Weri merasakan pusing dan mual berkepanjangan. Diagnosis dokter mengonfirmasi bahwa gejalanya sama dengan gejala keracunan.

Kesaksian Weri menyoroti betapa sulitnya mendeteksi kontaminasi berbahaya, seperti bakteri atau virus, hanya dengan indra perasa menguatkan dugaan bahwa masalahnya terletak pada kontaminasi bakteriologis tak kasat mata yang terjadi selama proses pengolahan, atau mungkin pada bahan baku yang digunakan.

Baca juga: Warga Agam Temukan Tengkorak Manusia Saat Cari Kayu, Polisi Minta Cek Anggota Keluarga Hilang

Pakar Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Mohamad Reza menggarisbawahi bahwa gejala keracunan dapat muncul akibat kualitas bahan makanan yang digunakan. Bahan makanan tersebut terkadang tidak segar atau sudah terkontaminasi bakteri sejak awal.

Penghentian Operasi dan Alasan Sertifikasi Baru

Fokus masalah pun mengarah tajam kepada dapur penyedia. Pada Kamis (2/10/2025), operasional SPPG YPKA secara resmi dihentikan sementara.

Ketua SPPG, Aulia Korimah, mengakui bahwa penghentian ini disebabkan karena pihaknya belum memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi (SLHS). Pengakuan ini memicu kegaduhan.

SLHS adalah dokumen fundamental yang menjamin kelayakan bangunan, penggunaan sumber air, pemilihan, pengolahan bahan baku, hingga penyajian dan distribusi makanan—persyaratan dasar bagi fasilitas pengolahan pangan.

Kori berdalih bahwa SLHS adalah persyaratan baru dari BGN (Badan Gizi Nasional) dan sebelumnya tidak ada keharusan untuk mengantongi sertifikat tersebut.

Baca juga: Jojo Balas Kekalahan Atas Viktor Axelsen pada Hari Pertama Turnamen Bdmntn-XL 2025

 Meskipun ia mengklaim bahwa selama satu bulan pengoperasian, SPPG YPKA sudah mengikuti prosedur yang berlaku, tragedi keracunan ini menjadi penyebab tambahan yang memaksa penghentian operasi hingga batas waktu tak ditentukan, sembari menunggu hasil pemeriksaan lab.

Rantai Kelalaian Struktural, Mayoritas Dapur Tak Berizin

Pengakuan YPKA segera diikuti oleh langkah tegas dari pemerintah daerah. Bupati Agam, Benny Warlis, mengkonfirmasi masalah struktural yang lebih besar, tujuh dapur SPPG di wilayahnya teridentifikasi belum mengantongi SLHS.

Ini mengisyaratkan bahwa kegagalan higienitas bukan hanya terjadi di satu dapur, melainkan menunjukkan lemahnya pengawasan dan penegakan standar dalam keseluruhan pelaksanaan program MBG di tingkat kabupaten.

Bupati Warlis lantas memerintahkan agar seluruh dapur yang tidak memiliki izin operasional yang memadai, termasuk tujuh dapur yang belum bersertifikat, untuk ditutup sementara.

Ia bahkan mengancam akan mendatangi langsung jika dapur-dapur tersebut mengabaikan permintaan untuk segera mengurus SLHS, menegaskan bahwa masalah ini menyangkut kesehatan masyarakat.

KERACUNAN MASSAL MBG - Bupati Agam Benni Warlis saat menjenguk korban keracunan MBG pada Rabu, 2/10/2025). Pemkab menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) terkait kasus keracunan nasi goreng di Lubuk Basung.
KERACUNAN MASSAL MBG - Bupati Agam Benni Warlis saat menjenguk korban keracunan MBG pada Rabu, 2/10/2025). Pemkab menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB) terkait kasus keracunan nasi goreng di Lubuk Basung. (Pemkab Agam)

Baca juga: LBH Padang Sebut Korban Keracunan MBG di Agam Bisa Gugat Pemerintah, Singgung Pelanggaran HAM

Penutupan dapur penyedia makanan juga menjadi reaksi yang umum di banyak daerah lain yang mengalami kasus keracunan MBG, menegaskan bahwa masalah sanitasi dan kualitas masih menjadi isu nasional yang serius.

Tragedi ini juga menjadi pengingat penting bagi Badan Gizi Nasional (BGN), yang sebelumnya telah mencatat ribuan kasus keracunan MBG sepanjang tahun 2025.

Data dari BGN mengungkapkan bahwa mayoritas insiden terjadi karena SPPG tidak mematuhi Standar Operasional Prosedur (SOP).

Bahkan, di tingkat nasional, dilaporkan masih ada ribuan dapur MBG yang belum memiliki sertifikat higienis. Kasus Agam menambah panjang daftar insiden yang dipicu oleh minimnya kelayakan operasional dapur penyedia makanan.

Menuntut Kualitas, Menolak Risiko

Di bangsal-bangsal rumah sakit, kepahitan dan kekecewaan orang tua korban mewarnai ruang tunggu. Mereka yang anaknya terbaring sakit menuntut evaluasi menyeluruh terhadap program MBG.

Baca juga: Inovasi Siswi Cilacap: Ciptakan Kotak Makan Pintar "Ompreng" untuk Deteksi Makanan Basi

Nola Tila Armarcania, salah satu orang tua siswa, mengungkapkan kecurigaan terhadap proses pemilihan bahan baku dan penyajian makanan. Ia secara khusus menyoroti masalah penggunaan bahan tambahan.

"Setidaknya jangan pakai MSG untuk anak TK dan SD karena kami para orang tua tidak menggunakan itu pada makanan anak kami," tegasnya.

Ia menilai penggunaan MSG dapat berdampak negatif pada kesehatan anak, bahkan dapat memicu diare atau keracunan bagi yang tidak terbiasa, apalagi jika dicampur dengan proses pengolahan yang kurang higienis.

Nola dan orang tua lainnya menuntut pengawasan ketat, baik dari ahli gizi maupun tenaga kesehatan, untuk menjamin standar kualitas makanan yang diberikan.

Di luar masalah kualitas, insiden ini menimbulkan trauma psikologis yang mendalam. Nola menilai peristiwa seperti ini akan menimbulkan traumatik pada anak sehingga takut untuk menyantap makanan yang sama sekali lagi.

Situasi ini tentu memerlukan pendekatan ekstra dari SPPG setempat untuk mengembalikan kepercayaan orang tua dan anak.

Baca juga: LBH Padang Desak Negara Bertanggung Jawab Penuh atas Insiden Keracunan MBG di Agam

Kritik yang lebih tajam datang dari orang tua lain, Jonedi. Ia menilai, jika program MBG ini lebih banyak mudharat daripada manfaatnya, lebih baik dihentikan saja.

"Sebelum program ini ada alhamdulilah kebutuhan makan anak saya masih bisa tercukupi bahkan tidak pernah mengalami keracunan seperti ini. Kalau karena program ini ada dan anak kami keracunan, saya rasa tidak perlu dilanjutkan," ujarnya dengan nada cemas.

Jonedi khawatir program yang bertujuan mulia ini hanya akan merugikan negara dan menguntungkan segelintir pihak yang kurang bertanggung jawab, sementara masyarakat sebagai sasaran kebijakan harus menanggung dampak kesehatan dan finansial.

Titik Balik Pengawasan, Memastikan Integritas Pangan

Tragedi Nasi Goreng Beracun di Agam adalah cerminan dari kegagalan beruntun.

Pertama, kegagalan dalam penegakan regulasi, di mana dapur penyedia makanan skala besar diizinkan beroperasi tanpa memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi. 

Kedua, kegagalan kontrol kualitas harian, yang terbukti dari kesaksian korban tentang buruknya kondisi makanan sebelum insiden keracunan.

Baca juga: Kronologi Penemuan Tulang Belulang Manusia di Agam, Ditemukan Warga saat Cari Kayu

 Ketiga, kegagalan manajemen risiko, di mana program tetap berjalan meski indikasi masalah kebersihan sudah terlihat jelas.

Langkah cepat Pemerintah Kabupaten Agam dalam menetapkan KLB, menanggung biaya pengobatan, dan menutup tujuh dapur yang tidak laik higienis adalah respons yang diperlukan, tetapi tidak cukup.

Fokus utama kini adalah hasil uji laboratorium BPOM yang akan mengidentifikasi patogen penyebab keracunan. Hasil ini akan menjadi dasar penentuan sanksi dan tindakan hukum terhadap pihak yang terbukti lalai.

Program MBG, yang bertujuan mulia untuk meningkatkan gizi anak-anak, tidak boleh menjadi ancaman tersembunyi.

Insiden Agam harus menjadi titik balik, bukan hanya untuk evaluasi program, tetapi untuk penguatan sistem pengawasan sanitasi dan higienitas secara permanen.

Pengawasan berkala yang melibatkan ahli gizi dan tenaga kesehatan, penerapan standar SLHS yang ketat, dan pemberian sanksi yang tegas bagi penyedia yang lalai, adalah mutlak diperlukan.

Pada akhirnya, keselamatan dan kesehatan anak-anak penerima manfaat harus menjadi prioritas utama, jauh di atas kepentingan pelaksanaan program semata.(*)

 

Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved