Keracunan MBG di Agam

Tragedi Nasi Goreng Program MBG di Kabupaten Agam, Menyingkap Rantai Keracunan Massal

Rabu, 1 Oktober 2025, seharusnya menjadi hari biasa yang menjanjikan bagi ribuan pelajar di Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Penulis: Panji Rahmat | Editor: Rahmadi
TribunPadang.com/RahmatPanji
KERACUNAN MBG AGAM - Korban keracunan diduga akibat mengkonsumsi program Makanan Bergizi Gratis (MBG) terus berdatangan ke Puskesmas Manggopoh, Agam, Sumbar, Kamis (2/10/2025). Dalam rentang waktu kurang dari 48 jam, mulai Rabu sore hingga Jumat pagi, gelombang korban keracunan mayoritas adalah anak-anak usia TK hingga SMP membanjiri fasilitas layanan kesehatan setempat. 

Menuntut Kualitas, Menolak Risiko

Di bangsal-bangsal rumah sakit, kepahitan dan kekecewaan orang tua korban mewarnai ruang tunggu. Mereka yang anaknya terbaring sakit menuntut evaluasi menyeluruh terhadap program MBG.

Baca juga: Inovasi Siswi Cilacap: Ciptakan Kotak Makan Pintar "Ompreng" untuk Deteksi Makanan Basi

Nola Tila Armarcania, salah satu orang tua siswa, mengungkapkan kecurigaan terhadap proses pemilihan bahan baku dan penyajian makanan. Ia secara khusus menyoroti masalah penggunaan bahan tambahan.

"Setidaknya jangan pakai MSG untuk anak TK dan SD karena kami para orang tua tidak menggunakan itu pada makanan anak kami," tegasnya.

Ia menilai penggunaan MSG dapat berdampak negatif pada kesehatan anak, bahkan dapat memicu diare atau keracunan bagi yang tidak terbiasa, apalagi jika dicampur dengan proses pengolahan yang kurang higienis.

Nola dan orang tua lainnya menuntut pengawasan ketat, baik dari ahli gizi maupun tenaga kesehatan, untuk menjamin standar kualitas makanan yang diberikan.

Di luar masalah kualitas, insiden ini menimbulkan trauma psikologis yang mendalam. Nola menilai peristiwa seperti ini akan menimbulkan traumatik pada anak sehingga takut untuk menyantap makanan yang sama sekali lagi.

Situasi ini tentu memerlukan pendekatan ekstra dari SPPG setempat untuk mengembalikan kepercayaan orang tua dan anak.

Baca juga: LBH Padang Desak Negara Bertanggung Jawab Penuh atas Insiden Keracunan MBG di Agam

Kritik yang lebih tajam datang dari orang tua lain, Jonedi. Ia menilai, jika program MBG ini lebih banyak mudharat daripada manfaatnya, lebih baik dihentikan saja.

"Sebelum program ini ada alhamdulilah kebutuhan makan anak saya masih bisa tercukupi bahkan tidak pernah mengalami keracunan seperti ini. Kalau karena program ini ada dan anak kami keracunan, saya rasa tidak perlu dilanjutkan," ujarnya dengan nada cemas.

Jonedi khawatir program yang bertujuan mulia ini hanya akan merugikan negara dan menguntungkan segelintir pihak yang kurang bertanggung jawab, sementara masyarakat sebagai sasaran kebijakan harus menanggung dampak kesehatan dan finansial.

Titik Balik Pengawasan, Memastikan Integritas Pangan

Tragedi Nasi Goreng Beracun di Agam adalah cerminan dari kegagalan beruntun.

Pertama, kegagalan dalam penegakan regulasi, di mana dapur penyedia makanan skala besar diizinkan beroperasi tanpa memiliki Sertifikat Laik Higiene Sanitasi. 

Kedua, kegagalan kontrol kualitas harian, yang terbukti dari kesaksian korban tentang buruknya kondisi makanan sebelum insiden keracunan.

Baca juga: Kronologi Penemuan Tulang Belulang Manusia di Agam, Ditemukan Warga saat Cari Kayu

 Ketiga, kegagalan manajemen risiko, di mana program tetap berjalan meski indikasi masalah kebersihan sudah terlihat jelas.

Langkah cepat Pemerintah Kabupaten Agam dalam menetapkan KLB, menanggung biaya pengobatan, dan menutup tujuh dapur yang tidak laik higienis adalah respons yang diperlukan, tetapi tidak cukup.

Fokus utama kini adalah hasil uji laboratorium BPOM yang akan mengidentifikasi patogen penyebab keracunan. Hasil ini akan menjadi dasar penentuan sanksi dan tindakan hukum terhadap pihak yang terbukti lalai.

Program MBG, yang bertujuan mulia untuk meningkatkan gizi anak-anak, tidak boleh menjadi ancaman tersembunyi.

Insiden Agam harus menjadi titik balik, bukan hanya untuk evaluasi program, tetapi untuk penguatan sistem pengawasan sanitasi dan higienitas secara permanen.

Pengawasan berkala yang melibatkan ahli gizi dan tenaga kesehatan, penerapan standar SLHS yang ketat, dan pemberian sanksi yang tegas bagi penyedia yang lalai, adalah mutlak diperlukan.

Pada akhirnya, keselamatan dan kesehatan anak-anak penerima manfaat harus menjadi prioritas utama, jauh di atas kepentingan pelaksanaan program semata.(*)

 

Sumber: Tribun Padang
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved