Gempa 30 September
16 Tahun Gempa Sumbar 2009: Kisah Zuraida Lawan Puing dan Lumpur Demi Selamatkan Keluarga
Hari sudah beranjak ke senja, jarum jam menunjuk pukul 17.15 WIB. Zuraida baru saja kembali dari sawah, debu dan keringat masih
Penulis: Panji Rahmat | Editor: Mona Triana
TRIBUNPADANG.COM, PADANG PARIAMAN – Hari sudah beranjak ke senja, jarum jam menunjuk pukul 17.15 WIB.
Zuraida baru saja kembali dari sawah, debu dan keringat masih melekat di tubuhnya.
Ia berdiri di perkarangan rumahnya di Korong Pulau Aia, Kecamatan Patamuan, Padang Pariaman, siap membersihkan diri.
Namun, yang ia saksikan selanjutnya bukanlah ketenangan petang, melainkan sebuah kengerian yang akan mengukir luka belasan tahun.
Tiba-tiba, rumahnya yang baru setengah jadi itu bergoyang hebat, kiri dan kanan, seolah ditarikan oleh kekuatan tak kasat mata.
Baca juga: Gempa Bumi Magnitudo 4,5 Guncang Mentawai Sumbar pada Kedalaman 56 Km
Gempa dahsyat berkekuatan 7,9 Skala Richter menerjang, pada 30 September 2009.
Reaksi Zuraida cepat, insting bertahan hidup mengambil alih.
Ia langsung memeluk erat tiang lampu di dekatnya tiang yang kini berdiri tanpa lampu, hanya menjadi monumen bisu.
"Saya langsung memegangi tiang lampu," kenangnya, menunjuk objek tersebut. "Kuda-kuda saya runtuh, terpaksa satu tangan saya pindahkan untuk memegangi lutut."
Menerobos Reruntuhan Demi Ibu
Guncangan belum usai, namun pikiran Zuraida tidak lagi terfokus pada keselamatan dirinya. Tapi Ibunya.
Rumah ibunya hanya berjarak satu rumah darinya. Tanpa berpikir panjang, ia menyongsong langkahnya yang tergopoh-gopoh.
Baca juga: Gempa Bumi Magnitudo 2,5 Guncang Bukittinggi Sore Ini, Miliki Kedalaman 11 Km
Memasuki pintu, ia mendapati sang ibu pasrah di kursi, kesulitan untuk berdiri tegak melawan goncangan bumi.
"Usaha saya harus berulang," ujar Zuraida. Namun, ia tak menyerah. Dalam kepanikan dan guncangan yang tak henti, Zuraida berhasil menarik dan menuntun ibunya keluar, menjauhi bayangan reruntuhan.
Napas lega itu hanya sesaat.
Di tengah halaman yang mulai diguyur hujan gerimis, alam ikut menangisi tragedi yang akan datang.
Zuraida menyadari dua perempuan berharga lainnya masih terperangkap: neneknya dan adik ibunya (bibi).
Baca juga: Gempa Bumi Magnitudo 2,1 Guncang Kota Solok pada Kedalaman 9 Km, Pagi Ini
Bagian rumah tempat mereka berada telah luluh lantak, hancur oleh material bangunan.
Perempuan yang Melawan Puing
Suaminya baru saja berpamitan mengantar anak sekolah ke Kota Pariaman. Sore itu, tidak ada laki-laki di rumah.
Zuraida hanya ditemani sang ibu, adik perempuannya, dan seorang anak kecil berusia empat tahun.
Agak takut, namun didorong cinta dan tanggung jawab, Zuraida kembali menyusun langkah ke dalam puing.
Ia mendapati nenek dan adik ibunya dalam kondisi terhimpit material bangunan.
Beberapa bagian tubuh mereka patah, seperti kaki, bahu, dan memar di sekujur tubuh.
Inilah momen ketika Zuraida bertransformasi menjadi pahlawan tak terduga.
"Bahu membahu kami coba mengevakuasi nenek dan adik ibu saya," tuturnya lirih. Dengan sisa tenaga dan adrenalin yang memuncak, ia mencoba mengangkat puing-puing berat. Meski kewalahan, usaha mereka berhasil membawa kedua perempuan sepuh itu keluar dari jebakan maut.
Sayangnya, meski telah berjuang mati-matian, Zuraida kehilangan nenek, adik ibu, dan sejumlah sanak saudaranya dalam bencana yang sama. Kepergian itu meninggalkan luka menganga.
Tanah Merah dan Ketakutan Abadi Zuraida
Zuraida berdiri di antara puing dan genangan, sepasang matanya menyapu sisa-sisa rumah, memastikan seluruh keluarganya telah keluar dan berada dalam zona aman.
Kelegaan sesaat itu datang bersama kelelahan yang luar biasa. Ia menarik napas, mencoba menenangkan detak jantungnya yang menggila, sampai kemudian ia merasakan basah dan melihat sesuatu yang mengerikan di sela kakinya.
Bukan air sungai biasa. Itu adalah tanah merah pekat, mengalir seperti banjir bah kecil, berbusa, dan membawa bau lumpur tajam.
Zuraida tersentak. Aliran itu adalah air mata dari bukit yang runtuh, longsoran yang telah menimbun Korong Lubuk Laweh dan Lareh Nan Panjang.
Lumpur itu menyumbat aliran sungai di hulu, memicu banjir bandang dadakan yang tiba-tiba melahap desa.
Rasa terkejut Zuraida berubah menjadi kengerian ketika ia menoleh ke arah Korong Lubuk Laweh.
Sekolah dasar yang biasanya menjadi penanda pemukiman, sore itu lenyap. Hilang, ditelan gabungan kekuatan gempa, longsor, dan air bah.
Peristiwa 16 tahun silam itu belum sedikit pun beranjak, rasa takut itu masih hidup. Ia mengenang percakapan hatinya, sebuah bisikan pilu yang merangkum seluruh kehancuran yang ia saksikan:
“Ondeh lai ndak habis dunsanak wak di sinan sadonyo ko ya allah,” (Ya Tuhan, jangan-jangan semua saudara saya lenyap di sana).
Pilihan Tersulit dalam Kegelapan
Sekitar pukul 18.30 WIB, suami dan anaknya kembali ke rumah. Mereka mendapati kampung sudah diselimuti hujan deras, lampu padam, dan udara yang dingin mencengkam.
Suami Zuraida bersyukur melihat istrinya selamat, tetapi keadaan belum selesai.
Warga yang lebih dulu berhasil menyelamatkan diri sudah menyebar kabar peringatan banjir bah susulan dan gempa lanjutan masih mungkin terjadi. Kampung itu harus segera ditinggalkan.
Malam itu, keputusan Zuraida adalah yang tersulit. Di tengah evakuasi massal yang membuat kampung kosong melompong, ia melihat neneknya dan adik ibunya (bibinya) yang terbaring tak berdaya.
Dalam kondisi luka memar dan dugaan tulang patah, mereka mustahil bisa digotong menempuh jarak aman.
Zuraida tahu, kunci keselamatan mereka adalah kendaraan roda empat.
Di tengah kepanikan dan kegelapan, ia berjuang mencari mobil milik warga.
Ia harus bernegosiasi, membujuk pemilik yang awalnya enggan meminjamkan.
“Akhirnya saya bisa pinjam kendaraan itu, setelah sepakat dengan pemiliknya untuk membayar,” kenangnya.
Menjelang pukul 21.00 WIB, keluarga Zuraida menjadi rombongan terakhir yang meninggalkan lokasi bencana.
Mereka mengungsi ke rumah famili yang letaknya tidak jauh dan dianggap aman dari ancaman susulan.
Baca juga: BREAKING NEWS Gempa 5,2 SR Guncang Muko-Muko Bengkulu, Guncangan Terasa di Kota Padang
Pertolongan yang Terlambat
Meski telah mencapai tempat yang aman, perjuangan Zuraida belum usai.
Neneknya dan bibinya masih memerlukan pertolongan medis segera, tetapi akses dan kondisi darurat membuat bantuan tak kunjung datang.
Tepat pukul 00.00 WIB, di tempat pengungsian yang jauh dari hiruk pikuk medis, nenek Zuraida menghembuskan napas terakhirnya.
Ia meninggal dengan kondisi yang mengenaskan, patah kaki kiri dan lengan kiri, serta luka memar parah di belakang kepala akibat reruntuhan puing rumah.
Tidak hanya neneknya, dua bulan setelah kejadian, bibinya juga meninggal dunia.
Setelah harus bergelut dengan kondisi patah kaki meski sempat mendapat sejumlah pertolongan medis bahkan uluran tangan donatur dari jerman. Bibinya tetap tidak tertolong.
Kepergian sang nenek di tengah perjuangan evakuasi itu menjadi babak akhir yang tragis dari bencana yang ia hadapi.
Bagi Zuraida, tanah merah bukan hanya lambang longsor, tetapi juga lambang ketakutan abadi sebuah kenangan yang menunjukkan batas antara pertolongan yang berhasil ia berikan, dan takdir yang tak mampu ia lawan.
Selain nenek dan bibinya, akibat bencana ini Zuraida juga kehilangan sawahnya yang sudah rata dengan tanah.
Sedangkan rumahnya, menjadi satu-satunya rumah yang mengalami kerusakan paling parah di Korong tersebut, menurutnya.
“Untung saja kerbau yang saya gembalakan milik orang lain tidak ikut hanyut, kalau tidak tentu sudah mengganti pula,” ujarnya, yang baru menyadari kerbau itu selamat satu hari setelah kejadian pasca memakamkan neneknya.
Ikonik Seri Balap MotoGP Indonesia 2025: The Mandalika Jadi Destinasi Sportainment Kelas Dunia |
![]() |
---|
Kronologi Bangunan Ponpes Al Khoziny Sidoarjo Ambruk, 3 Santri Meninggal Dunia dan Puluhan Luka-Luka |
![]() |
---|
BNNP Sumbar Musnahkan 46,4 Kg Ganja dan 7,5 Kg Sabu, Hasil Pengungkapan 2 Kasus pada September 2025 |
![]() |
---|
WNA Nur Amira yang Didetensi di Imigrasi Agam Tak Ingin Dideportasi ke Malaysia karena Sang Anak |
![]() |
---|
Pria Hanyut di Sungai Batang Ombilin Sawahlunto Ditemukan Meninggal, Berjarak 2 Kilometer dari LKP |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.