Menyapa Nusantara

Urgensi Membangun Eksosistem Data Pangan Terintegrasi

Fragmentasi data pangan masih menjadi persoalan bagi Bangsa Indonesia, sehingga seringkali keputusan pemerintah di sektor pangan dipersoalkan publik.

Editor: Emil Mahmud
DOK: ANTARA
HASIL FOTO UDARA - Tampak foto udara petani memanen padi menggunakan mesin combine harvester di areal persawahan Kawasan Sukodono, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (23/9/2025). Data Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan produksi padi Indonesia dari Januari hingga Oktober 2025 mencapai 53,87 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), meningkat 12,17 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2024, menunjukkan tren positif pada sektor pertanian dan menjaga ketersediaan pangan nasional. ANTARA FOTO 

FRAGMENTASI data pangan masih menjadi persoalan bagi Bangsa Indonesia, sehingga seringkali keputusan pemerintah di sektor pangan dipersoalkan publik.

Fragmentasi data, sebetulnya bukan hanya ciri khas di sektor pangan, tetapi juga di berbagai sektor, meskipun kebijakan satu peta telah digaungkan di setiap sektor, dengan instansi yang ditunjuk sebagai wali data.

Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2019 tentang Satu Data Indonesia juga telah diterbitkan dan mulai berlaku 17 Juni 2019 sebagai upaya standardisasi dan integrasi data lintas sektor.

Dengan luas lahan sawah mencapai sekitar 7,46 juta hektare dan lahan kering lebih dari 144,5 juta hektare yang tersebar di berbagai kondisi agroekosistem, kebutuhan akan data yang terpadu, akurat, dan mudah diakses menjadi semakin mendesak.

Kini di era informasi teknologi yang semakin maju dan dinamis, Indonesia membutuhkan kebijakan yang melampaui kebijakan satu peta.

Baca juga: Prabowo Bicara Soal MBG: Kesalahan 0,00017 Persen, Manfaat Sangat Besar hingga Catat Sejarah Dunia

Di era digital peta telah bertransformasi menjadi geo informasi spasial yang bukan hanya sekadar peta, tetapi lapisan-lapisan data raksasa yang memiliki atribut berupa lokasi berkoordinat.

Dampaknya, kebijakan satu peta tak lagi memadai karena Indonesia membutuhkan satu ekosistem data yang terhubung. Setiap instansi pemerintah boleh saja memiliki data spasial masing-masing, tetapi saling terkoneksi dalam sebuah geoportal hub collection.

Ilustrasinya kurang lebih seperti di dunia ini terdapat berbagai data, satelit seperti Landsat, Sentinel, ALOS PALSAR, maupun MODIS, tetapi dapat diakses dari satu platform.

Setiap pengguna memahami bahwa setiap data satelit tentu memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, tergantung resolusi spasial, temporal, dan radiometriknya.

Setiap keunggulan di satu produk digunakan untuk menutupi kelemahan pada produk lainnya, demikian juga sebaliknya, sehingga informasi yang diperoleh semakin utuh.

Data pangan

Baca juga: Kasus Kewarganegaraan:Zahira Anak WNA di Payakumbuh Minta Presiden Prabowo Hentikan Deportasi Ibunya

Pada kasus data pangan, tentu Indonesia membutuhkan data yang valid, tetapi perlu juga disadari bahwa setiap data yang dikeluarkan oleh sebuah instansi memiliki level akurasi masing-masing.

Kesediaan memublikasikan tingkat akurasi di setiap lokasi sebagai bagian dari metadata menjadi hal penting pada ekosistem data yang saling terhubung.

Data dari instansi berbeda dapat menjadi alat untuk kalibrasi agar data yang dihasilkan tidak overestimate atau sebaliknya underestimate.

Saat ini satu-satunya data yang digunakan untuk pengambilan kebijakan pertanian adalah yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS), tetapi tentunya Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional (Bappenas) maupun Kementerian Pertanian (Kementan) juga menghasilkan data yang disesuaikan dengan kebutuhan kedua institusi tersebut.

Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved