Laporan Wartawan TribunPadang.com, Rizka Desri Yusfita
TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Renjana (nama samaran) menjadi korban kejahatan seksual yang dilakukan oleh pacarnya sendiri inisial R.
Hal itu ia alami pada awal Februari 2021 lalu.
Kasus tersebut mulai ditangani pihak Kepolisian Sektor (Polsek) Koto Tangah pada 3 Februari 2021.
Baca juga: Kisah Siswi SMA di Padang Depresi Setelah Disetubuhi Pacar, Orang Tua pun Terancam Dipenjara
Baca juga: Kisah Athikah Maharani Liamdas, Penyandang Down Syndrome Raih Medali Emas Cabor Renang
R ditangkap serta dikenai pasal 332 KUHP karena telah melarikan perempuan di bawah umur.
Oknum pelaku R telah ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan.
Akan tetapi keluarga R tidak terima atas penangkapan dan penahanan tersebut.
Keluarga R terus-menerus mendatangi keluarga korban.
Pihak keluarga tersangka pun memberikan uang sebesar Rp20 juta kepada keluarga korban disertai bukti kwitansi untuk biaya pengobatan.
Kemudian, ada tawaran dari keluarga pelaku untuk upaya perdamaian dan dibuatlah surat perjanjian perdamaian.
Baca juga: Nekat Berenang Tempat Remaja, Bocah 9 Tahun Tewas Tenggelam di Kolam Renang Alba Resort Lubuk Alung
Namun, laporan tidak bisa dicabut karena merupakan delik biasa bukan delik aduan.
Oleh karena laporan tidak bisa dicabut, keluarga pelaku kemudian meminta Ibu Renjana untuk memulangkan kembali uang tersebut.
Ibu Renjana hanya menyanggupi pengembalian uang senilai Rp12 Juta, namun keluarga pelaku meminta uang tersebut dikembalikan utuh.
Akhirnya keluarga korban dilaporkan ke pihak kepolisian karena dituduh melakukan penipuan dan penggelapan.
Pengacara keluarga korban, Decthree Ranti Putri, menegaskan surat perjanjian perdamaian yang dibuat keluarga korban memang tidak serta merta bisa mencabut dan menghapus laporan.
Dirinya berpandangan ketidaktahuan atas hukum menjadi sasaran empuk dalam kasus tersebut.
"Karena pelaku tidak dibebaskan, keluarga pelaku melapor ke polisi atas dugaan penipuan dan penggelapan uang."
"Seperti yang disampaikan keluarga ketika mendatangi LBH. Saya merasa sejumlah uang itu jebakan oleh keluarga pelaku dan ayah korban yang tidak tahu hukum," terang Ranti.
Keluarga korban selalu didatangi, ditanyakan mengenai uang.
Akhirnya barulah keluar surat panggilan ke keluarga korban atas dugaan tindak pindak penggelapan.
Atas surat panggilan itu, LBH memutuskan untuk mendampingi keluarga korban.
LBH sangat menyesalkan saat pendampingan keluarga korban di kepolisian.
Dia menduga pihak kepolisian tidak paham konteks dugaan penipuan dan penggelapan.
"Harusnya dalam surat perjanjian itu harus memenuhi empat unsur sehingga bisa sah. Tapi dalam perjanjian perdamaian tersebut yang tampak justru kausal tidak halal."
"Ini melawan peraturan perundangan-perundangan. Harusnya polisi paham," tegas Ranti.
Pasca kejadian, keluarga korban dan korban mendapat victim blaming bahwasanya kejadian itu ialah kejadian yang diakibatkan karena si korban yang salah.
Namun karena dia adalah anak dan orang dewasa tidak mampu berfikir, itu membuat dia depresi dan trauma.
Kemudian, ancaman ke keluarga semakin memperburuk keadaan korban.
LBH meyakini terhadap pemberian sejumlah uang kepada keluarga korban adalah dapat dikategorikan restitusi (penggantian) hak untuk pemulihan korban.
Setiap anak yang menjadi korban berhak memperoleh restitusi.
"Penyidik harus memahami ini adalah restitusi. Upaya pemulihan hak-hak korban. Dan itu tidak bisa serta merta kasusnya ditarik menjadi penipuan dan penggelapan," jelas Ranti.
Atas uang yang telah diserahkan, menurut Ranti, itu untuk pengobatan korban yang ditentukan sendiri nominalnya oleh pelaku.
Ia melanjutkan, seharusnya kepolisian berperan aktif melindungi hak korban kekerasan seksual.
Karena itu, LBH menuntut pihak Polsek Koto Tangah menghentikan kasus penggelapan dan penipuan tersebut.
Serta pengalihan kasus kekerasan dari Polsek Koto Tangah ke Unit PPA Kepolisian Daerah Sumatra Barat.
“LBH selaku pendamping keluarga korban menuntut Kepala Polsek Koto Tangah untuk menghentikan dugaan perkara penipuan dan penggelapan serta meminta Kapolda Sumbar untuk melakukan pengambilan kasus kekerasan ke Unit PPA,” terang Ranti. (*)