Ardedi menilai, solusi-solusi yang diberikan tidak masuk akal.
Sementara, orang di kampung tersebut rata -rata orang tidak mampu.
Untuk makan sehari-hari saja susah didapatkan.
"Dapat pagi habis petang, begitu sebaliknya. Mereka mayoritas nelayan dan petani. Kakak saya yang meninggal itu kerja cleaning service di PLTA."
"Istrinya masih di pengungsian dan shock," tambah Ardedi.
Kedepannya, menurut Ardedi, upaya pemerintah harus difokuskan tahap demi tahap, pertama relokasi sementara dulu.
Relokasi sementara, rumah penduduk setempat yang masih kosong disewa.
Rumah yang disewakan hanya di subsidi sebesar Rp 500 ribu per bulan.
Sementara, kata Ardedi, untuk kelanjutan biaya hidup selama enam bulan bagi keluarga terdampak belum ada solusi.
"Ini belum ada keputusan, rapat sebelumnya juga tidak ada hitam di atas putih. Hanya sekadar ngomong-ngomong."
"Kita maunya ke depan seperti apa, jelas step by stepnya bagaimana, tapi tidak ada. Kita hanya bisa diam," terang Ardedi.
Ardedi menambahkan, kekhawatiran sementara tinggal di lokasi yang rawan longsor pasti ada, tapi relokasi sementara yang direncanakan tidak di lokasi yang sama.
Menurut Ardedi, tidak ada salahnya jika relokasi sementara dibuatkan rumah sementara saja dulu.
Rumah sementara tersebut hak mutlak untuk yang relokasi.
Jadi kalau seandainya, lebih dari enam bulan, dia masih bisa bertahan di rumah sementara itu.
"Tetapi, Pemkab tidak mau, pertimbangannya biayanya cukup besar. Dia mau sewakan rumah, otomatis budgetnya lebih besar," kata Ardedi.
Ardedi dan keluarga saat ini masih di pengungsian. Semua anggota keluarganya berkumpul.
Rencananya, ia akan kembali ke Tembagapura hari ini tapi karena belum ada keputusan yang jelas terkait nasib keluarganya, ia menunda hingga pekan depan. (*)