Citizen Journalism
Totto-Chan dan Jiwa Manusia : Menurut Lacan
Sastra seringkali menjadi cara terbaik kita untuk melihat ke dalam pikiran dan perasaan manusia. Novel Totto-Chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela kary
Penulis : Nayla Shadira Maestria, Mahasiswa Program Studi Sastra Jepang, FIB Universitas Andalas

Pendahuluan
Sastra seringkali menjadi cara terbaik kita untuk melihat ke dalam pikiran dan perasaan manusia. Novel Totto-Chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela karya Tetsuko Kuroyanagi adalah salah satu contohnya. Ini adalah kisah nyata yang hangat tentang masa kecil Totto-Chan di sekolah Tomoe Gakuen yang istimewa, di Jepang saat Perang Dunia II akan berakhir.
Meski ceritanya tentang seorang anak, novel ini punya banyak lapisan makna tentang bagaimana seseorang menjadi dirinya sendiri. Kita bisa memahami ini lebih dalam memakai teori psikoanalisis Jacques Lacan. Lacan punya ide penting: pikiran bawah sadar kita itu bekerja seperti bahasa. Ini mengubah cara kita melihat diri, keinginan, dan pengalaman buruk.
Esai ini akan membahas bagaimana tokoh-tokoh utama dalam novel Totto-Chan, Kepala Sekolah Kobayashi, guru-guru, dan teman-temannya—menunjukkan konsep-konsep Lacan. Kita akan melihat bagaimana mereka berinteraksi dengan tiga bagian jiwa menurut Lacan: dunia Imaginair (khayalan), Simbolik (aturan dan bahasa), dan Real (kenyataan yang sulit diterima). Kita juga akan membahas ide-ide Lacan lainnya seperti tahap cermin, peran sosok ayah, simbol Falus, keinginan, dan objet petit a (objek yang selalu dicari tapi tak pernah sepenuhnya didapat). Dengan begitu, kita akan melihat bahwa Totto-Chan bukan hanya kisah tentang pendidikan, tapi juga tentang bagaimana kita semua menjadi diri kita, beradaptasi dengan aturan masyarakat, dan menghadapi kenyataan yang kadang menyakitkan.
Apa Itu Psikoanalisis Jacques Lacan? (Penjelasan Sederhana)
Agar lebih mudah memahami Totto-Chan dari sudut pandang Lacan, mari kita pahami dulu ide-ide dasarnya. Jacques Lacan (1901–1981) adalah seorang pemikir penting yang mengembangkan teori Sigmund Freud. Bedanya, Lacan fokus pada peran bahasa dalam pikiran bawah sadar kita. Dia percaya bahwa kita sebagai manusia itu tidak utuh sejak lahir, tapi terbentuk atau "terpecah" seiring kita belajar bahasa dan berinterinteraksi dengan masyarakat (yang dia sebut "Yang Besar Lain").
Ada tiga bagian utama jiwa manusia menurut Lacan :
1.Imaginair (Dunia Khayalan/Citra) : Ini adalah tahap awal hidup kita, di mana kita sangat bergantung pada apa yang kita lihat, pada bayangan atau citra. Ide kuncinya adalah tahap cermin. Ketika bayi (sekitar usia 6-18 bulan) melihat bayangan dirinya di cermin atau pada orang lain (seperti ibu), ia merasa bahwa bayangan itu adalah dirinya yang utuh dan sempurna. Padahal, saat itu tubuh bayi masih belum bisa bergerak dengan baik. Jadi, rasa utuh ini sebenarnya cuma ilusi, bayangan sempurna yang kita jadikan "aku" atau "ego". Di tahap ini, kita banyak berkhayal dan melihat dunia dalam hubungan dua arah (aku dan bayanganku/aku dan orang lain sebagai cerminan diriku). Keinginan kita juga seringkali hanya meniru apa yang diinginkan orang lain.
2.Simbolik (Dunia Aturan dan Bahasa) : Ini adalah tahap di mana kita mulai masuk ke dunia bahasa, aturan, hukum, dan kebudayaan. Ini seperti kita diajari bicara dan diberi nama. Transisi ke tahap ini disebut "kastrasi simbolik." Ini bukan pemotongan fisik, tapi lebih pada penerimaan bahwa kita tidak bisa selalu bersama ibu (atau sosok pengasuh awal) dan harus mengikuti aturan masyarakat. Di sini, peran "Nama-Sang-Ayah" sangat penting. Ini bukan cuma ayah kandung, tapi bisa juga aturan, hukum, atau otoritas yang memisahkan kita dari khayalan awal. Dengan masuknya ke Simbolik, muncullah simbol "Falus." Ini bukan organ tubuh, tapi simbol kekuasaan, perbedaan, dan keinginan yang selalu ada tapi tak pernah sepenuhnya tercapai. Keinginan kita dalam tahap ini tidak pernah bisa benar-benar terpenuhi, karena selalu dihubungkan dengan kata-kata dan simbol lain. Kita jadi diatur oleh "rantai kata-kata" yang terus menggeser makna, sehingga makna sebenarnya selalu tertunda.
3.Real (Kenyataan yang Sulit Diterima) : Ini adalah bagian yang paling sulit dijelaskan. Real adalah kenyataan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata atau dibayangkan. Ini adalah inti dari trauma, kekosongan, dan hal-hal yang tidak bisa masuk ke dalam dunia bahasa (Simbolik) atau khayalan (Imaginair). Real sering muncul sebagai celah, ketiadaan, atau pengalaman yang begitu menakutkan sehingga kita tidak bisa melupakannya. Meskipun tidak bisa kita pahami sepenuhnya, Real terus "mengganggu" pikiran kita, muncul sebagai rasa cemas atau gejala yang tidak bisa dijelaskan. Keinginan kita selalu mencari "objet petit a" — yaitu objek yang menyebabkan keinginan. Tapi objek ini sebenarnya adalah sesuatu yang hilang dan tidak akan pernah benar-benar kita temukan. Ini adalah kekosongan yang terus mendorong kita untuk mencari dan menginginkan sesuatu.
Dengan pemahaman sederhana ini, kita bisa melihat bagaimana karakter dalam novel Totto-Chan berinteraksi dengan dunia mereka, membentuk diri, dan menghadapi kenyataan.
Pembahasan : Karakter dalam "Totto-Chan" Melalui Kacamata Lacan
Novel Totto-Chan menghadirkan berbagai karakter yang hidup, dan setiap interaksi mereka dengan Totto-Chan dapat kita lihat sebagai bagian dari proses jiwa yang membentuk dirinya.
1.Totto-Chan : Dari Dunia Khayalan ke Aturan yang Menyenangkan (dan Pukulan Kenyataan)
Pada awalnya, Totto-Chan adalah cerminan dari tahap Imaginair yang kuat. Ia adalah anak yang sering membuat guru lama kesal. Gurunya mengeluh, "Putri Nyonya mengganggu seluruh kelas. Silakan memindahkannya ke sekolah lain!" Tingkah lakunya—seperti berulang kali "membuka dan menutup penutup meja" hingga delapan belas kali—menunjukkan bagaimana ia terlalu asyik dengan apa yang ia lihat dan sentuh, seolah meja itu adalah perpanjangan dari dirinya yang bisa ia kendalikan sepenuhnya. Ini adalah ciri khas Imaginair: tubuhnya masih terasa "terpecah-pecah" dan ia mencoba menyatukannya melalui tindakan fisik yang berulang.
Ia juga suka "berdiri di jendela, memanggil-manggil pengamen" atau "mengobrol dengan burung walet." Ini bukan hanya kenakalan, tapi upaya Totto-Chan untuk terhubung langsung dengan dunia luar, tanpa perlu mengikuti aturan atau bahasa yang lebih kompleks.
Keinginannya saat itu bersifat murni berdasarkan impuls dan apa yang menarik perhatiannya secara visual atau sensorik. Ia belum sepenuhnya paham bahwa di dalam kelas ada aturan tak tertulis, ada "Yang Besar Lain" (yaitu sistem sekolah dan guru) yang menuntut perilaku tertentu.
Guru-guru di sekolah lama tidak mampu menjembatani dunia khayalan Totto-Chan dengan aturan sekolah. Mereka hanya melihat "masalah" dan gagal membantu Totto-Chan masuk ke dunia aturan (Simbolik) dengan cara yang baik, sehingga ia diusir.
Perjalanan Totto-Chan ke sekolah Tomoe Gakuen adalah titik balik penting menuju tahap Simbolik yang lebih sehat. Di Tomoe, ia bertemu Kepala Sekolah Kobayashi, yang akan kita bahas lebih detail.
Lingkungan Tomoe sendiri—dengan "kelas-kelas yang terbuat dari gerbong kereta api," kebebasan memilih pelajaran, dan belajar di luar kelas—menjadi sistem aturan (Simbolik) yang unik dan fleksibel.
Aturan di sini tidak menindas Imaginair Totto-Chan, tapi justru memberinya wadah yang aman. Ia belajar berbagi makanan saat makan siang yang unik, menghormati teman-teman yang berbeda (misalnya Yasuaki yang lumpuh polio), dan memahami bahwa kebebasan itu datang dengan tanggung jawab. Dia tidak dipaksa, tapi dibimbing untuk mengerti aturan baru ini.
Proses ini, yang disebut "kastrasi simbolik" oleh Lacan, terjadi secara lembut, memungkinkan Totto-Chan membentuk diri yang lebih utuh dan mampu bersosialisasi. Ini adalah saat Totto-Chan mulai memahami bahwa ada kekurangan dalam dirinya yang tidak bisa diisi oleh citra semata, dan ia membutuhkan bahasa serta hubungan dengan orang lain untuk menjadi subjek yang berfungsi.
Namun, di tengah semua kebahagiaan itu, Totto-Chan pada akhirnya berhadapan dengan Real. Novel ini berlatar "menjelang akhir Perang Dunia II," yang merupakan ancaman besar yang tak bisa dihindari. Suara "sirene serangan udara" yang sering terdengar dan kelangkaan makanan adalah tanda-tanda Realitas perang yang tak terhindarkan dan sulit diterima.
Puncaknya adalah ketika sekolah Tomoe hancur lebur "rata dengan tanah" karena dibom. Momen ini adalah trauma murni, sebuah kehancuran yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata atau dibayangkan.
Ini menunjukkan bahwa ada hal-hal dalam hidup yang terlalu menyakitkan atau kacau sehingga tidak bisa masuk ke dalam pikiran kita secara normal. Pengalaman ini meninggalkan "lubang" besar dalam jiwa Totto-Chan, sebuah Realitas yang tak terlukiskan yang menembus semua struktur Imaginair dan Simbolik yang telah ia bangun.
Puncak dari perjumpaan Totto-Chan dengan Real adalah kehancuran Tomoe Gakuen. Ketika serangan udara Amerika menghantam Tokyo, "seluruh wilayah itu dilalap api" dan "sekolah Tomoe, gerbong-gerbongnya, ruang guru, bahkan Aula pun rata dengan tanah" akibat pemboman.
Momen ini adalah trauma murni, sebuah ketiadaan, sebuah lubang yang tidak dapat diwakili oleh bahasa apapun. Realitas kehancuran total dan kehilangan yang tak terhingga ini melampaui kemampuan tatanan Simbolik untuk memberikan makna atau penjelasan yang memuaskan.
Ini adalah bukti nyata dari batas-batas Simbolik—bahwa ada aspek-aspek Realitas yang terlalu brutal, terlalu acak, atau terlalu traumatis untuk sepenuhnya diintegrasikan atau dijelaskan oleh bahasa dan struktur sosial. Pengalaman ini meninggalkan Totto-Chan dengan sebuah kekosongan, sebuah sisa dari Real yang tidak dapat disimbolkan.
2.Kepala Sekolah Kobayashi : Sosok Ayah yang Bijaksana dalam Simbolik
Kepala Sekolah Kobayashi adalah tokoh kunci dalam novel. Dalam pandangan Lacan, ia adalah sosok "Nama-Sang-Ayah" yang ideal. Ini berarti ia adalah perwakilan dari aturan dan otoritas yang baik, yang membimbing anak-anak tanpa menindas.
Pertemuan pertamanya dengan Totto-Chan adalah contoh terbaik. Kobayashi "mendengarkan Totto-Chan berbicara selama empat jam penuh" tanpa memotongnya, tentang segala hal yang ingin diceritakannya, mulai dari kereta api kesayangannya hingga kisah anjingnya.
Tindakan mendengarkan ini sangat penting. Itu membuat Totto-Chan merasa dihargai dan punya suara. Kobayashi membiarkan Totto-Chan mengungkapkan segala khayalannya, dan dengan begitu, ia membantu Totto-Chan menata pikirannya menjadi sesuatu yang bisa dipahami (masuk ke dunia bahasa dan Simbolik).
Kobayashi tidak menggunakan Falus (simbol kekuasaan) untuk menghukum, tapi untuk membebaskan. Kebijakannya, seperti membiarkan anak-anak "memilih mata pelajaran sendiri" atau "belajar di luar kelas," adalah cara dia membangun sistem aturan (Simbolik) yang memungkinkan anak tumbuh alami, bukan dipaksa. Dia menunjukkan bahwa aturan bisa jadi panduan yang baik, bukan cuma larangan.
3.Guru-Guru dan Teman-Teman Tomoe: Lingkungan yang Membentuk Diri
Selain Kobayashi, guru-guru lain dan teman-teman Totto-Chan juga berperan penting. Guru-guru di Tomoe sangat sabar dan kreatif, berbeda dengan guru di sekolah lamanya.
Mereka adalah bagian dari "Yang Besar Lain" yang mendukung, yang menciptakan aturan yang fleksibel tapi tetap membimbing. Mereka menganggap kesalahan sebagai bagian dari belajar, dan setiap anak dihargai keunikannya.
Teman-teman Totto-Chan juga mengajarkan banyak hal. Interaksinya dengan Yasuaki (anak yang lumpuh polio) atau Miyo-chan (yang suka mencuri) mengajarkan Totto-Chan tentang empati, toleransi, dan bagaimana bersosialisasi. Ini adalah bagian dari bagaimana Totto-Chan belajar aturan masyarakat bukan cuma dari orang dewasa, tapi juga dari teman sebaya. Mereka menjadi cermin bagi Totto-Chan, membantunya melihat dirinya dan posisinya dalam hubungan sosial yang lebih kompleks.
4.Keinginan dan Pencarian Abadi
Keinginan Totto-Chan sepanjang novel bisa dijelaskan dengan konsep Lacan tentang keinginan. Keinginan, kata Lacan, tidak pernah bisa benar-benar terpenuhi karena objek yang kita cari (objet petit a) itu selalu hilang. Awalnya, Totto-Chan sangat ingin diterima dan dipahami. Di sekolah lama, keinginannya tidak terpenuhi.
Sekolah Tomoe Gakuen sempat menjadi "objet petit a" yang membawa kebahagiaan besar bagi Totto-Chan. Di sana, ia merasa puas dan diterima. Tapi kehancuran Tomoe karena perang menunjukkan bahwa kepuasan ini hanya sementara. Objek keinginan itu (Tomoe yang utuh) hilang.
Ini membuktikan bahwa "objet petit a" adalah sesuatu yang tidak bisa kita miliki selamanya, dan itulah yang terus mendorong kita untuk menginginkan hal lain. Kehilangan Tomoe meninggalkan "lubang" yang dalam dalam jiwa Totto-Chan.
Meski begitu, pengalaman kehilangan ini juga memicu keinginan baru. Dari sudut pandang Lacan, trauma dari Real itulah yang mendorong kita untuk terus berkeinginan, mencari "objet petit a" baru untuk mengisi kekosongan. Kenangan akan Tomoe dan pelajaran dari Kepala Sekolah Kobayashi membentuk Totto-Chan. Ia terus mencari makna, koneksi, dan tempat di dunia yang baru. Keinginannya untuk masa depan adalah respons terhadap "lubang" yang ditinggalkan oleh "objet petit a" yang hilang itu.
Kesimpulan
Totto-Chan: Si Gadis Kecil di Tepi Jendela bukan sekadar cerita anak-anak biasa; ini adalah kisah mendalam tentang bagaimana seseorang menjadi dirinya sendiri, yang bisa kita pahami lebih dalam dengan psikoanalisis Jacques Lacan.
Perjalanan Totto-Chan, dari khayalan yang kuat di awal hidupnya, lalu masuk ke dunia aturan yang baik di Tomoe, adalah gambaran jelas tentang pertumbuhan jiwa.
Kepala Sekolah Kobayashi berperan penting sebagai "Nama-Sang-Ayah" yang membimbing, bukan menindas, memberikan aturan yang fleksibel.
Namun, di tengah kebahagiaan itu, kenyataan perang yang mengerikan (Real) menunjukkan batasan dunia khayalan dan aturan yang ada. Peristiwa traumatis ini mengungkapkan bahwa ada hal-hal dalam hidup yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata atau diatasi dengan khayalan.
Kehilangan sekolah Tomoe—"objet petit a" yang hilang—membuat Totto-Chan terus punya keinginan, mencari sesuatu untuk mengisi kekosongan itu.
Pada akhirnya, Totto-Chan mengajarkan kita tentang pentingnya pendidikan yang memahami anak, tapi juga menunjukkan bagaimana kita semua, sebagai manusia, harus menghadapi dunia yang terus berubah.
Melalui kacamata Lacan, kita melihat Totto-Chan sebagai seseorang yang terus dibentuk oleh khayalannya, aturan di sekitarnya, dan kenyataan yang kadang pahit, menjadikannya sebuah kisah yang kaya untuk memahami jiwa manusia.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.