Citizen Journalism
Opini: Ironi! Ketika Sekolah tidak Lagi Aman
DUGAAN Kasus pencabulan yang mencoreng satu lembaga pendidikan atau sekolah di Sumatera Barat, kiranya menyisakan luka mendalam.
Pelanggaran terhadap pasal tersebut dapat dijerat Pasal 81 dan 82 UU yang sama dengan pidana penjara minimal 5 tahun dan maksimal 15 tahun, ditambah dengan denda paling banyak Rp5 miliar.
Tak hanya itu, pelaku yang memiliki hubungan kuasa terhadap korban (seperti guru atau pegawai sekolah) dapat dikenai hukuman tambahan sebagaimana diatur dalam UU No. 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Perpu Perlindungan Anak.
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bahkan menyebutkan bahwa kekerasan seksual di sekolah merupakan bentuk eksploitasi terhadap relasi kuasa antara pendidik dan peserta didik. Pelaku seringkali memanfaatkan posisi dan jabatan untuk menutupi kejahatannya.
Jangan Lindungi Pelaku, Lindungi Korban!
Sejauh ini, disinyalir bahwa terjadi upaya pembungkaman dan impunitas yang masih kuat di banyak institusi pendidikan.
Korban bukan hanya membutuhkan keadilan dalam bentuk sanksi pidana bagi pelaku, tetapi juga pemulihan psikologis, pengembalian hak-haknya di sekolah, serta jaminan bahwa ia tidak akan mengalami trauma berkelanjutan.
Apresiasi pantas diberikan kepada para siswa yang berani menyuarakan keadilan. Namun, keberanian mereka seharusnya tidak menjadi pengganti sistem perlindungan yang semestinya disediakan oleh sekolah.
Pihak sekolah seharusnya menjadi pelindung utama bagi peserta didik, serta terbuka untuk diinvestigasi menyeluruh, keterbukaan informasi kepada publik, dan pembenahan sistem agar hal serupa tak terulang.
Baca juga: Opini : Tragedi di Dharmasraya dan Urgensi Perlindungan Anak
Perlu Reformasi Total Sistem Pengawasan di Sekolah
Kasus ini tidak boleh berhenti sebagai berita viral semata. Pemerintah daerah melalui Dinas Pendidikan seharusnya memastikan bahwa setiap sekolah memiliki sistem pelaporan kekerasan seksual yang aman, rahasia, dan berpihak pada korban.
Perlu adanya pelatihan wajib bagi guru dan staf sekolah tentang Etika Perlindungan Anak, gender sensitivity, serta manajemen krisis kasus kekerasan seksual. Sistem pengawasan juga harus diperkuat dengan membentuk satuan tugas perlindungan anak di setiap sekolah.
Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek) sebenarnya telah mengeluarkan Permendikbud No. 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan. Sayangnya, regulasi ini belum ditegakkan secara maksimal di lapangan.
Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi kekerasan di lingkungan pendidikan. Ketika siswa bersuara, itu bukan bentuk pembangkangan, melainkan panggilan nurani atas nilai-nilai keadilan yang seharusnya ditanamkan sejak dini. Jangan biarkan mereka berjuang sendirian.
Karena jika sekolah bukan lagi tempat yang aman, maka kemana lagi anak-anak bangsa ini harus belajar? (*)
MAN IC Padang Pariaman Menebar Harapan Jemput Masa Depan: Berakit-rakit ke Hulu, Berenang ke Tepian |
![]() |
---|
Kuliah Kerja Nyata: Program Mahasiswa di Indonesia Serupa, Bakti Siswa & Magang Industri di Malaysia |
![]() |
---|
Opini Ruang Kota Tanpa Asap: Car Free Day Antara Negara Serumpun Indonesia & Malaysia |
![]() |
---|
Opini Bahasa Melayu: Bila Percuma di Malaysia, Gratis di Indonesia |
![]() |
---|
UNP Pelatihan Emotional Spritual Question di SMAN 1 Tanjung Mutiara Kabupaten Agam, Sumatera Barat |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.