Citizen Journalism

Opini Ketika Kepentingan Telah Berakhir

JANJI adalah salah satu bentuk komunikasi paling mendasar dalam kehidupan manusia

Editor: Emil Mahmud
Repro:Buku Tematik Terpadu Kurikulum 2013
Ilustrasi: Sketsa Mendahulukan Kepentingan Bersama 

Oleh Ike Revita, Penulis adalah Dosen Prodi Magister Linguistik FIB Unand

Janji yang diucapkan tanpa niat untuk ditepati hanyalah bayangan kata-kata. Dia tampak berwujud, namun kosong di dalamnya, melukai kepercayaan dan mengaburkan makna kejujuran- Ike Revita

JANJI adalah salah satu bentuk komunikasi paling mendasar dalam kehidupan manusia.

Sebuah janji, secara sederhana, merupakan pernyataan atau komitmen yang diberikan seseorang kepada orang lain mengenai suatu tindakan atau peristiwa di masa depan (KBBI, 2024).

Dalam dunia sosial, janji memainkan peran krusial dalam menjaga kepercayaan, integritas, dan hubungan antarmanusia.

Namun, apa yang terjadi ketika janji tidak ditepati? Lebih penting lagi, bagaimana pengaruh bahasa dalam membentuk makna di balik janji palsu?

Ketika seseorang mengucapkan janji, pada dasarnya mereka sedang menggunakan bahasa untuk menciptakan harapan dan keyakinan.

Secara pragmatis, janji melibatkan apa yang kita sebut sebagai speech act (tindak tutur) (Revita, 2024).

Dalam teori tindak tutur, janji termasuk dalam kategori commissives yang penuturnya berkomitmen untuk melakukan sesuatu di masa depan.

Kana tetapi, tidak semua janji dipenuhi. Ketika janji dilanggar, bahasa yang seharusnya mencerminkan integritas justru berbalik menjadi alat manipulasi.

Bahasa pada dasarnya adalah representasi dari realitas dan niat manusia. Saat janji diucapkan, bahasa membawa beban moral karena menyangkut tanggung jawab (Revita, 2022).

Orang yang berjanji menggunakan kata-kata untuk menciptakan ekspektasi di benak orang lain, dan kata-kata itu memiliki kekuatan untuk menimbulkan kepercayaan.

Namun, ketika janji yang diberikan tidak ditepati, kekuatan bahasa justru menghancurkan kepercayaan tersebut.
Dalam perspektif Pragmatik, janji palsu merupakan bentuk komunikasi yang menyimpang.

Di satu sisi, janji palsu bisa dilihat sebagai tindak tutur yang tidak tulus, atau apa yang disebut dalam Pragmatik sebagai insincere speech act  (Revita, 2022a).

Individu yang mengucapkan janji palsu sebenarnya tidak memiliki niat untuk menepati komitmennya.

Hal ini menunjukkan bahwa janji palsu, pada dasarnya, adalah manipulasi bahasa di mana kata-kata tidak lagi mencerminkan kenyataan atau niat yang sebenarnya.

Janji palsu juga seringkali disertai dengan berbagai alasan atau pembenaran yang diucapkan setelah janji tersebut dilanggar.

Di sinilah bahasa memainkan peran lainnyamengemas pelanggaran menjadi sesuatu yang seolah-olah dapat diterima. Contohnya, ketika seseorang berjanji tetapi kemudian gagal menepatinya, mereka mungkin berkata,

 ‘Saya benar-benar ingin menepati janji itu, tetapi ada keadaan di luar kendali saya.’

Dengan menggunakan alasan tersebut, pelanggaran janji dibingkai dengan cara yang lebih ringan, bahkan bisa saja dimaklumi oleh penerimanya.

Ini adalah bentuk lain dari permainan bahasa yang membuat janji palsu terus ada dalam interaksi sosial kita.

Di era digital dan politik saat ini, janji palsu tampaknya semakin sering muncul. Baik itu janji dari pemimpin politik, selebritas, atau bahkan di antara teman dan keluarga, kita kerap menemukan fenomena di mana janji diberikan dengan mudah tetapi tidak pernah diwujudkan.

Hal ini menunjukkan adanya degradasi nilai bahasa dalam masyarakat kita. Ketika janji palsu menjadi hal yang biasa, bahasa yang seharusnya menjadi alat kejujuran dan transparansi justru berbalik menjadi alat untuk membingkai kebohongan dan manipulasi (Revita, 2014).

Ketika kita membiarkan janji palsu merajalela, kita pada dasarnya sedang merusak nilai kata-kata. Bahasa tidak lagi berfungsi sebagai alat untuk menghubungkan manusia dalam kepercayaan, melainkan menjadi alat untuk mengecoh dan mengkhianati.

Sebagai individu yang hidup di tengah masyarakat yang sangat bergantung pada kata-kata, kita memiliki tanggung jawab untuk menjaga nilai bahasa.

Salah satu caranya adalah dengan menghargai janji yang kita berikan. Janji bukan hanya sekadar rangkaian kata-kata; ia adalah komitmen yang berakar pada kepercayaan dan niat baik.

Ketika kita berjanji, kita harus memastikan bahwa kita memiliki niat tulus untuk menepatinya.

Dengan demikian, kita dapat menjaga bahasa tetap berharga, sebagai alat untuk membangun hubungan yang kokoh dan saling percaya.

Pada akhirnya, janji palsu tidak hanya menghancurkan hubungan antarindividu, tetapi juga merusak kredibilitas bahasa itu sendiri.

Karena itu, mari kita lebih bijak dalam menggunakan kata-kata, terutama saat berjanji.(*)

 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved