Citizen Journalism

Opini : Meracik Bahasa dalam Komunikasi

BAHASA adalah salah satu alat komunikasi paling penting dalam kehidupan manusia. Bahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyampaian pesan, te

Editor: Emil Mahmud
SUMBER: GRAMEDIA
Ilustrasi: Kumpulan Kata-Kata Reminder buat diri sendiri. 

Oleh Ike Revita, Penulis adalah Dosen Prodi Magister Linguistik FIB Unand

Meracik bahasa dalam komunikasi ibarat menyusun harmoni nada dalam music. Setiap kata yang dipilih dengan tepat mampu menciptakan pemahaman yang indah, menembus hati, dan menyatukan jiwa - Ike Revita

BAHASA adalah salah satu alat komunikasi paling penting dalam kehidupan manusia. Bahasa ini tidak hanya berfungsi sebagai sarana penyampaian pesan, tetapi juga mencerminkan identitas (Chaika, 1986), emosi, dan relasi sosial (Revita, 2022).

Namun, berkomunikasi bukan hanya soal berbicara atau menulis, melainkan tentang bagaimana kita meracik bahasa agar sesuai dengan konteks (Revita, 2020), tujuan, dan lawan bicara.

Layaknya seorang koki yang menyiapkan hidangan, kita harus pandai memilih kata-kata dan menyusunnya dengan cermat agar menghasilkan komunikasi yang efektif.

Dalam berkomunikasi, bahasa yang kita gunakan tidak hanya mencerminkan pikiran kita, tetapi juga identitas kita. Kata-kata yang dipilih, gaya berbicara, bahkan intonasi, semua berperan dalam menunjukkan siapa kita (Revita, 2024).

Misalnya, seseorang yang berbicara dengan bahasa formal menunjukkan sikap hormat dan profesional, sementara penggunaan bahasa santai menunjukkan kedekatan atau keakraban.

Oleh karena itu, meracik bahasa berarti juga meramu identitas kita agar dapat diterima dengan baik oleh orang lain.

Di dunia yang semakin global, kemampuan untuk meracik bahasa menjadi semakin penting. Setiap kelompok sosial memiliki bahasa, dialek, atau gaya bicara yang khas.

Berbicara dengan seseorang dari latar belakang budaya yang berbeda memerlukan sensitivitas terhadap norma bahasa mereka.

Baca juga: Opini : Fenomena Bahasa di Ruang Publik

Kesalahan dalam penggunaan bahasa bisa menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan konflik (Revita, 2024a). Oleh karena itu, meracik bahasa tidak hanya soal memilih kata yang tepat, tetapi juga memahami konteks sosial dan budaya.

Seperti halnya seorang chef yang mempertimbangkan selera tamu-tamunya, kita juga harus mempertimbangkan lawan bicara dalam berkomunikasi.

Kita tidak bisa menggunakan gaya bahasa yang sama dalam setiap situasi. Misalnya, berbicara dengan teman dekat tentu berbeda dengan berbicara dengan atasan atau rekan kerja.

Penggunaan bahasa yang terlalu formal dalam lingkungan santai dapat membuat suasana menjadi kaku, sedangkan bahasa yang terlalu santai dalam lingkungan profesional dapat dianggap tidak sopan.

Proses menyesuaikan bahasa ini disebut dengan ‘pengakomodasian komunikasi’ dalam teori sosiolinguistik. Artinya, kita menyesuaikan cara berbicara kita sesuai dengan siapa yang kita ajak bicara dan dalam situasi apa (Revita, 2023).

Misalnya, saat berbicara dengan anak-anak, kita cenderung menggunakan kalimat sederhana dan bahasa yang mudah dipahami.

Sebaliknya, ketika berhadapan dengan audiens akademis, kita menggunakan terminologi yang lebih kompleks dan bahasa yang lebih formal. Meracik bahasa dalam komunikasi berarti memadukan kata dan gaya bicara yang sesuai dengan kebutuhan lawan bicara kita.

Bahasa tidak hanya berfungsi sebagai alat penyampaian informasi, tetapi juga sebagai alat untuk membangun dan mempertahankan relasi sosial (Revita, 2022a).

Baca juga: Opini : Kebablasan dalam Berbahasa, Berkata Kasar, Provokatif, atau tidak Pantas

Dalam interaksi sehari-hari, pilihan kata dan nada bicara dapat menentukan bagaimana kita dipersepsikan oleh orang lain. Kata-kata yang ramah dan penuh empati dapat membangun hubungan yang lebih dekat dan harmonis, sedangkan kata-kata yang tajam dan kasar dapat merusak hubungan.

Kemampuan untuk meracik bahasa dengan baik juga dapat membantu kita dalam menghadapi situasi konflik. Ketika terjadi perselisihan, bahasa yang digunakan dapat mempengaruhi hasil dari konflik tersebut.

Bahasa yang diplomatis, misalnya, dapat membantu meredakan ketegangan, sedangkan bahasa yang provokatif justru dapat memperburuk situasi.

Di era digital saat ini, komunikasi tidak lagi terbatas pada tatap muka. Pesan singkat, email, dan media sosial telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari.

Meskipun teknologi memudahkan kita untuk berkomunikasi dengan lebih cepat, dia juga menghadirkan tantangan baru dalam meracik bahasa. Teks tanpa intonasi dan ekspresi wajah dapat mudah disalahpahami.

Oleh karena itu, penting bagi kita untuk lebih berhati-hati dalam memilih kata dan kalimat, terutama dalam komunikasi tertulis (Revita, 2008).

Selain itu, bahasa di dunia digital sering kali mengalami perubahan cepat. Kata-kata baru muncul, bahasa gaul menjadi populer, dan norma-norma komunikasi terus berkembang. Dalam kondisi ini, kita perlu lebih fleksibel dan adaptif dalam meracik bahasa agar tetap relevan dan mudah dipahami.

Meracik bahasa dalam komunikasi adalah seni yang membutuhkan kepekaan, ketepatan, dan adaptabilitas. Setiap kata yang kita pilih, setiap intonasi yang kita gunakan, membawa makna yang lebih dari sekadar apa yang tampak di permukaan.

Lewat cara memahami konteks sosial, budaya, dan psikologis dari komunikasi, kita dapat menjadi ‘chef’ yang mahir dalam menyajikan pesan-pesan kita dengan cara yang paling efektif dan berkesan.(*)

 

 

 

 

 

 

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved