Kabar Irjen Teddy Minahasa Ditangkap

Gelar Adat Teddy Minahasa Tidak Perlu Dicabut, Sadri Chaniago: Jangan Sehabis Tolong Hilanglah Jasa

Gelar adat Tuanku Bandaro Alam Sati yang disematkan kepada Irjen Pol Teddy Minahasa Putra menuai kritik dari sejumlah masyarakat Minangkabau.

Penulis: Panji Rahmat | Editor: Rizka Desri Yusfita
TribunPadang.com
Kapolda Sumbar Irjen Pol Teddy Minahasa Putra saat diwawancara awak media, Selasa (2/11/2021) lalu. Irjen Pol Teddy Minahasa baru saja tersandung kasus pengedaran narkoba. 

TRIBUNPADANG.COM, PARIAMAN - Gelar adat Tuanku Bandaro Alam Sati yang disematkan kepada Irjen Pol Teddy Minahasa Putra menuai kritik dari sejumlah masyarakat Minangkabau.

Hal itu setelah Irjen Teddy Minahasa Putra tersandung kasus pengedaran narkoba beberapa waktu lalu.

Sejumlah masyarakat menilai perlu dilakukan pencabutan atas gelar tersebut karena bisa mencoreng nama baik masyarakat Minangkabau.

Namun penilaian berbeda disampaikan tokoh masyarakat Kota Pariaman Sadri Chaniago.

Baca juga: Tokoh Masyarakat: Gelar Kehormatan Irjen Teddy Minahasa seperti Bunga Buatan, Tidak Bisa Diwariskan

Sadri Chaniago merasa tidak perlu dilakukan pencabutan atas gelar sang Sako yang diterima oleh Irjen Teddy Minahasa Putra.

Menurutnya adat Minangkabau tidak sekasar itu.

"Jangan sampai terjadi, sahabih tolong (sehabis tolong), hilanglah jaso (hilanglah jasa)," kata Wakil Ketua KAN (Kerapatan Adat Nagari) IV Angkek Padusunan Kota Pariaman itu.

Baginya persoalan ini bisa dipulangkan kepada raso (logika) dan pareso (timbangan perasaan).

Baca juga: Soal Gelar Kehormatan Irjen Teddy Minahasa Usai Terjerat Narkoba, LKAAM Sumbar: Kita akan Rapatkan

Sebenarnya, lanjut dia, saat pemegang gelar sang sako sudah tidak memenuhi kriteria lagi, maka secara prinsip yang bersangkutan sudah tidak layak menyandangnya, walaupun tanpa dicabut secara resmi.

"Ibarat ikatan kayu, gelar itu akan lepas dengan sendirinya," kata Dosen Ilmu Politik Universitas Andalas itu.

Menurutnya, jika kejadian serupa terjadi pada gelar Sako yang disandang oleh penghulu atau datuak di sebuah kaum dan pasukuan, proses pencabutan gelar itu tidak langsung terjadi.

Ia menjelaskan, para penghulu atau Datuak yang melanggar pantang larang dalam adat ini, untuk kesalahan ringan, kalau baabu dijantiak (jika berdebu dijentik).

Kalau kumuah disasah (kalau kotor dicuci), jika kesalahan menengah.

Lalu untuk kesalahan berat, dikikih balangnyo (dikikis belangnya), dipiuah gadiangnyo (diperas gadingnya), dicabuik galanyo (dicabut gelarnya).

"Tapi biasanya kasus berat ini diselesaikan melalui "sidang malam", tidak di depan sidang khalayak ramai," terang Mahasiswa S3 Departemen Ilmu Politik Universitas Indonesia itu.

Selain itu, di dalam sidang, penghulu atau Datuak yang membuat kesalahan berat diminta untuk bersikap arif.

Seperti memberi alasan untuk mengundurkan diri sebagai Datuak atau penghulu selaku pemegang gelar sako.

Berkaca dari contoh tersebut untuk gelar adat (sang sako) yang diterima Irjen Teddy, secara pandangan sosial masyarakat, pada hakikatnya ia sudah tidak memiliki kelayakan lagi memegang gelar tersebut.

Tanpa perlu dilakukan pencabutan gelar secara resmi.

Namun keputusan pencabutan gelar sang Sako ini berada di tangan kaum dan persukuan yang telah memberi gelar.

Baginya dalam persoalan ini hanya kaum dan suku itu berhak untuk mangikih balang (mengikis belang) dan mamiuah gadiang (memeras gading) dari gelar sang Sako yang diberikan pada Irjen Teddy.

"Ini ranah kewenangan otonom dari kaum dan suku tersebut. Kita hanya bisa memberikan saran dan pandangan," pungkasnya. (*)

 

 

Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved