Kata Pakar Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman: Penamaan Vaksin Nusantara Perlu Diubah

Pakar Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman menyoroti penamaan Vaksin Nusantara mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Editor: Rizka Desri Yusfita
istimewa
Ilustrasi vaksin - Badan Intelijen Negara Daerah (BINDA) Sumatera Barat (Sumbar) melaksanakan program vaksinasi massal untuk mengejar target capaian pada kelompok penerima anak-anak, Kamis (3/2/2022) lalu. - Foto ini tak terkait berita Pakar Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman menyoroti penamaan Vaksin Nusantara mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto. 

TRIBUNPADANG.COM - Pakar Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman menyoroti penamaan Vaksin Nusantara mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto.

Informasi yang beredar, Vaksin Nusantara oleh mantan Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto disebut kini telah dipublikasikan di jurnal internasional. 

Pakar Epidemiologi Griffith University Dicky Budiman menyebut dirinya telah membaca banyak review, dan menurutnya penamaan Vaksin Nusantara perlu diubah.

 "Dan saya melihat begini ya, perlu mengubah namanya. Bukan vaksin Nusantara, karena menjadi miss leading, miss interpretasi. Seakan-akan dari Nusantara. Vaksin sel dendritik sudah banyak review nya," ungkap Dicky pada Tribunnews, Minggu (29/5/2022).

Dicky mengatakan jika Indonesia bukan pionir dalam hal ini.

Vaksin sel dendritik bukan Inovasi Indonesia.

Melainkan telah ada namun dengan melihat bagaimana potensi dari vaksinasi ini untuk Covid-19.

"Dan ini hal menurut saya ada juga yang lain. Tapi setidaknya ini langkah bagus dan pendekatan harus sampai dunia. Sehingga menjadi salah satu opsi," kata Dicky lagi. 

Baca juga: Semen Padang Kembali Fasilitasi Karyawan Vaksin Booster

Baca juga: Vaksin Menjadi Syarat Masuk ke Pusat Perbelanjaan di Kota Padang, Antisipasi Kasus Lonjakan Covid-19

Sel dendritik memang mempunyai potensi sebagai vaksin. Namun sebagaimana yang disampaikan dalam review, ada satu masalah yaitu ongkos yang besar.

Ditambah dengan tuntutan sumber daya manusia (SDM), dan aspek lainnya. Situasi ini tentu dari segi strategi kesehatan masyarakat, hal ini menjadi sulit.

Karena dari harus mudah, murah dan cepat selain juga harus efektif.

 "Sekali lagi ini langkah bagus. Ini vaksin sel dendritik, bukan vaksin Nusantara."

"Kan tidak ada disinggung vaksin Nusantara di dalam jurnal. Sayangnya hasil riset vaksin yang dilakukan ini belum muncul dalam literatur review," kata Dicky lagi.

Di sisi lain kata Dicky, pernyataan vaksin Nusantara telah dipublikasi, kiranya harus diluruskan. 

"Harus diluruskan, jangan pakai Nusantara. Harus fair, bukanlah inovasi Indonesia, tapi inovasi dunia. Ini masalah menghargai dunia ilmiah, originalitas. Di sisi lain ini satu langkah bagus dan bisa diteruskan," pungkasnya. (*)

 

 

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved