Mengenal Masjid Raya Kubang Putih di Agam, Saksi Sejarah yang Pernah Ditembak Mortir saat PRRI

Sumatera Barat (Sumbar) memang memiliki banyak masjid-masjid tua dengan berbagai cerita sejarah dan keunikannya tersendiri

Penulis: Muhammad Fuadi Zikri | Editor: Mona Triana
TribunPadang.com/Muhammad Fuadi Zikri
Masjid Raya Kubang Putih di  Nagari Kubang Putih, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam, Sumbar, Selasa (19/4/2022) 

Laporan Reporter TribunPadang.com, Muhammad Fuadi Zikri

TRIBUNPADANG.COM, AGAM - Sumatera Barat (Sumbar) memiliki banyak masjid-masjid tua dengan berbagai cerita sejarah dan keunikannya tersendiri.

Salah satunya masjid Raya Kubang Putih yang berlokasi di Nagari Kubang Putih, Kecamatan Banuhampu, Kabupaten Agam, Sumbar ini.

Tidak memiliki kubah dan atap limas berundak-undak seperti masjid tua pada umumnya, masjid ini memiliki bangunan layaknya istana berarsitektur kolonial Belanda.

Baca juga: Daftar Nama dan Judul Ceramah di Masjid Raya Al Ittihad Indarung Selama Ramadhan 1443 H

Baca juga: Melihat Masjid Raya Al-Ittihad Indarung yang Sediakan Tempat Istirahat Musafir, Subuh Dibangunkan

Tapi siapa sangka masjid ini merupakan satu-satunya saksi sejarah berdirinya Nagari Kubang Putih yang hingga kini masih bertahan.

Pada masa pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI), masjid ini pernah ditembaki mortir oleh tentara dari pusat.

Sejak didirikan sekitar tahun 1800-an, masjid ini juga tak pernah berganti atau dibangun ulang.

Baca juga: POPULER SUMBAR: 6 Remaja Diamankan Satpol PP Sijunjung, Masjid Jamik Tarok di Bukittinggi

Lantas bagaimana sejarahnya?

Menurut tokoh masyarakat Kubang Putih, Muslim Mulyani (78), Masjid Raya Kubang Putih dibangun bersamaan dengan pendirian Nagari Kubang Putih sekitar tahun 1800-an.

Masjid ini dibangun untuk memenuhi syarat berdirinya sebuah nagari di Minangkabau.

"Kalau di Minangkabau, nagari ini belum sah berdiri jika belum ada masjidnya," ujar Muslim saat berbincang dengan TribunPadang.com, beberapa waktu lalu.

Muslim berkisah, bangunan masjid didirikan secara gotong-royong oleh masyarakat Nagari Kubang Putih yang awalnya terdiri dari empat koto atau permukiman.
 
"Empat koto itu adalah Lareh Lurah, Lareh Gurun Aua, Lareh Nan Panjang, dan Lareh Kuruak," kata alumni Thawalib Parabek itu.

Dari awal didirikan, lanjut Muslim, Masjid Raya Kubang Putih tidak menggunakan bahan utama kayu, melainkan kapur sebagai bahan perekat batu bata merah.

Masjid ini juga tak mengikuti langgam masjid kuno di Minangkabau melainkan arsitektur kolonial belanda pada masanya sehingga kini terlihat seperti istana tua.

"Makanya masjid ini masih kuat bertahan hingga sekarang tanpa renovasi yang besar," imbuhnya.

Secara keseluruhan masjid ini berukuran sekitar 23x21 meter. Arsitekturnya panggung dengan posisi lebih tinggi satu meter dari tanah dan pintu masuknya membelakangi jalan utama di nagari.

Atap masjid tidak dibangun berundak-undak seperti kebanyakan masjid tua di Minangkabau, melainkan dibangun dengan empat atap linmas yang sejajar.

Muslim menyebut empat atap itu menandakan empat koto sebagai cikal bakal Nagari Kubang Putih.

"Dari dulu atapnya sudah seng juga, tapi seng nya tidak seperti yang sekarang, yang dulu itu jauh lebih tebal. Diganti sekitar tahun 1995," ungkapnya.

Dikatakan Muslim, lantai masjid yang kini keramik menggantikan lantai aslinya yang terbuat dari papan.

“Keramik itu aslinya terbuat dari papan. Dulu di bawahnya kolong. Pada tahun 1995, (kolong) ditimbun dan diberi keramik,” jelasnya.

Dilihat dari luar, di sekeliling bangunan terdapat serambi berukuran lebar 2,5 meter. Serambi di sebelah barat tidak penuh karena dipisahkan oleh mihrab.

Seluruh sisi luar serambi diberi pagar langkan dan pelengkung.

Sementara itu, pada pintu masuk yang sejajar dengan mihrab, terdapat serambi yang menjorok keluar dengan sejumlah anak tangga sebagai akses masuk masjid.

Dinding-dinding yang mengarah ke serambi dihiasi oleh tiang-tiang semu yang mengapit setiap pintu dan jendela.

Sisi samping kiri dan kanan masing-masing memiliki lima jendela dan satu pintu, dan sisi belakang tiga pintu dan dua jendela.

Di sisi depan terdapat lima jendela yang tiga diantaranya terdapat pada mihrab masjid. Di tiga jendela itu melekat kaca berwarna biru dan hijau. 

Sementara jendela lainnya hanya terbuat dari kayu dengan sejumlah lubang angin kecil-kecil.

Di sebelah timur atau membelakangi mihrab, terdapat sebuah menara bertingkat tiga dengan puncak kubah berbentuk buah pinang.

Seperti halnya bangunan utama masjid, menara ini juga memiliki semacam kolong tetapi lebih tinggi, dan juga berkonstruksi kapur putih dan bata merah,

Tingkat pertama dan dua merupakan ruang tangga spiral menuju tingkat tiga. Setiap tingkat memiliki area balkon keliling.

"Bagian tingkat paling atasnya sudah tidak asli lagi, itu dibangun ulang karena runtuh saat gempa Padang Panjang tahun 1926 dulu," terang Muslim.

Di bagian dalam masjid terdapat empat tiang utama berplester sebagai penopang bangunan.

Tiang-tiang itu layaknya pilar Yunani dengan umpak balok di bagian bawah dan pelipit candi di bagian atas dengan diameter sekitar 50 sentimeter.

Pada langit-langitnya, menjuntai sebuah lampu gantung yang cukup besar.

Sehingga, menambah kesan istana tua yang melekat pada masjid ini.

Namun yang jadi pembeda adalah sebuah mimbar di tengah mihrab. 

Mimbar masjid ini hampir sama dengan mimbar masjid tua lainnya, yaitu pintu masuknya menghadap ke jemaah dan memiliki sejumlah anak anak untuk naik.

"Mimbarnya itu juga terbuat dari kapur," tambah Muslim.

Baca juga: Masjid Jamik Tarok, Masjid Tertua di Bukittinggi yang Pernah Dikunjungi Proklamator Bung Hatta

Baca juga: Mari Semuanya Beramal Jariyah! Pembangunan Masjid Wustha Masih Butuh Uluran Tangan

Dihantam Mortir

Muslim mengatakan, pada masa pemberontakan PRRI, masyarakat Kubang Putih pernah dikagetkan dengan dentuman keras dari arah masjid.

Setelah dilihat, dentuman itu ternyata berasal dari atas masjid yang terkena mortir tentara pusat. Mortir tersebut mendarat di pereng namun bagian itu tidak hancur.

“Mortir itu entah sengaja entah tidak (diarahkan ke masjid), karena tak jauh dari masjid terdapat kediaman rumah Mr. Asssat,” kata Muslim.

Mr. Assaat merupakan tokoh kelahiran Kubang Putih. Ia pernah menjadi Acting Presiden Republik Indonesia di Yogyakarta dari 27 Desember 1949 hingga 15 Agustus 1950. Namun, belakangan ia terlibat PRRI karena menentang Bung Karno yang mulai melenceng dari konstitusi. (*)

 


 
 
 

Sumber: Tribun Padang
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved