Opini Citizen Journalism
Berbahasa dalam Diam
TIDAK semua jawaban harus dikatakan, terkadang diam adalah jawaban yang paling keras bagi seseorang - Anonim
Oleh: Ike Revita, Penulis adalah Dosen Jurusan Sastra Inggris, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Andalas
TIDAK semua jawaban harus dikatakan, terkadang diam adalah jawaban yang paling keras bagi seseorang - Anonim
Beberapa waktu terakhir ini saya sangat senang sekali mencari kalimat-kalimat bijak terkait dengan kearifan dalam berbahasa.
Setiap menemukan kalimat bijak yang mengandung nilai dalam, saya menjadi terinspirasi untuk menulis.
Berkali kejadian dialami oleh teman atau saya sendiri yang kemudian bertemali dengan kalimat bijak tesebut.
Salah satunya adalah yang saya kutip di atas.
Berbicara mungkin menjadi kebutuhan bagi banyak orang. Apalagi bagi orang yang suka berbicara. Diam beberapa menit bisa jadi menyiksa mereka.
Tidak demikian halnya dengan orang yang pendiam atau orang yang memang sedang butuh untuk tidak bicara, mereka mampu berjam-jam untuk tidak mengatakan apa pun.
Hal yang menjadi persoalan adalah ketika ada pertanyaan. Pertanyaan itu berpasangan dengan jawaban.
Setiap pertanyaan biasanya membutuhkan jawaban. Namun, apakah semua pertanyaan itu harus dijawab?
Jawabannya dimulai dari kisah pengalaman saya ketika remaja.
Saya biasanya selalu mengisi liburan sekolah dengan pulang kampung. Menghabiskan waktu liburan Bersama teman-teman masa kecil adalah ‘sesuatu banget’. Saya selalu tidak sabar menunggu masa itu.
Hingga suatu saat, keasyikan bermain dengan teman-teman, saya lupa waktu hingga pulang sudah larut malam.
Aturan yang berlaku di rumah adalah tidak boleh pulang melebihi waktu masuknya Magrib kecuali berhubungan dengan kegiatan akademik dan itu sudah pasti dikabari ke orang tua.
Pengecualian ini tidak berlaku untuk bermain atau hang out. Rasa takut mendera perasaan ketika menuju ke rumah. Khawatir akan dimarahi.
Baca juga: Pemkab Dharmasraya dan FIB Unand Jajaki Kerja Sama, Targetkan Pemajuan, dan Pelestarian Budaya lokal

Baca juga: 4 Mahasiswa FIB Unand Wisata ke Lobang Japang, di Padang: Tim PkM Tata Lokasi, Agar Layak Dikunjungi
Kekhwatiran itu tidak terjawab karena sesampai di rumah kedua orang tua saya tidak bertanya alasan keterlambatan, kecuali memastikan saya tidak meninggalkan ibadah shalat.
Kedua orang tua saya bersikap seperti tidak ada kejadian. Mereka juga memastikan apakah saya sudah makan malam.
Saya merasa heran hingga akhirnya bertanya kepada almarhum Papa, kenapa saya tidak dimarahi. Papa tidak menjawab tetapi hanya diam memandang saya.
Pandangan itu kemudian membuat saya merasa sangat bersalah dan kemudian menceritakan secara jujur dan detil penyebab keterlambatan ini.
Intinya, saya ingin menonton pementasan randai. Randai ini hanya dilakukan di malam hari tidak siang hari. Artinya saya harus berada di luar rumah di malam hari.
Pada waktu itu belum ada handphone dan alat komunikasi mobile seperti sekarang. Diamnya Papa ini yang membuat saya merasa sangat bersalah.
Dalam kesehariannya, almarhum Papa adalah orang yang tidak banyak bicara tetapi banyak berbuat. Beliau mampu membaca keninginan anak-anaknya tanpa kami harus terlebih dulu meminta.
Dari pandangan mata dan bahasa tubuh, Papa mengajarkan kepada kami untuk memahami pesan yang ingin disampaikannya.
Melalui pandangan mata dan bahasa tubuh, banyak hal yang sudah diajarkan Papa. Salah satunya adalah kearifan dan kebijaksanaan dalam berkomunikasi.

Baca juga: Kamuflase Lewat Bahasa
Apakah hal itu bisa diterapkan untuk masa kekinian?
Jawabnya adalah iya dan tidak. Tergantung bagaimana orang tua mendidik anaknya dalam berperilaku dan bertutur.
Hasil riset saya tahun 2009 dan 2014 tentang bahasa generasi muda menunjukkan bahwa konsep alun takilek alah takalam dalam Masyarakat Minangkabau sudah mulai luruh.
Salah satunya dipicu oleh kurang diwarisinya kearifan berbahasa ini dari orang tua ke anak.
Selain itu, sebagian generasi muda menganggap berbahasa yang tanpa kata itu dianggap tidak efektif.
Sulit memahami maksud dan pesan yang ingin disampaikan. Bertutur secara langsung dan literal kemudian dijadikan pilihan.
Sayang sekali memang karena sebenarnya di dalam berbahasa yang tidak menggunakan kata-kata ini sebenarnya terkandung nilai-nilai edukasi yang menjadi ciri dari seorang Minangkabau dalam komunikasi.
Baca juga: Indahnya Baso
Ada nilai kearifan dan kebijaksanaan. Manggarik ikan dalam tabek, lah jaleh jantan jo batinonyo.
Ungkapan ini menggambarkan dalam berkomunikasi tidak selamanya semuanya disampaikan secara eksplisit tetapi ada kiasan dan makna tersirat yang bisa digunakan.
Betapa indahnya memilih berbahasa yang dapat menggambarkan betapa smartnya si penutur dan cerdasnya mitra tutur dalam menangkan maksud tuturan.
Tidak semua orang bisa dan tidak semua orang mau serta mampu melakukannya. Akan tetapi, ini bisa dilatih dan diasah lewat praktik dan model yang dapat dicontoh.(*)