Viral Curhat Atlet PON Sumbar Dilepas Bak Anak Ayam Tanpa Induk, Tidur di Kursi Ruang Tunggu Bandara
Viral curahan hati atlet cabor bola tangan Sumatera Barat Irfan Oktavianus karena harus beristirahat beralasan kursi ruang tunggu Bandara Soekarno
Penulis: Panji Rahmat | Editor: afrizal

Laporan Wartawan TribunPadang.com, Rahmat Panji
TRIBUNPADANG.COM, PADANG– Viral curahan hati atlet cabor bola tangan Sumatera Barat Irfan Oktavianus karena harus beristirahat beralasan kursi ruang tunggu Bandara Soekarno Hatta.
Curahan hati Irfan ini berawal saat atlet bola tangan bertolak kembali ke Sumatera Barat setelah berlaga di gelaran PON XX Papua 2020.
Melalui unggahannya, Irfan Oktavianus menuliskan apa yang dilalui atlet saat ada di Bandara Soekarno Hatta.
Baca juga: Nur Rahimah Raih Medali Perunggu Tarung Derajat, Gadis Kota Padang Panjang Pertama Kali Ikuti PON
Baca juga: Gubernur Mahyeldi Serahkan Bonus Spontan ke Para Atlet Sumbar Peraih Medali PON Papua 2021
Irfan Oktavianus juga melampirkan foto para atlet yang sedang menunggu transit satu hari satu malam di Cengkareng.
Namun, saat menanti transit, mereka hanya bisa tidur di kursi ruang tunggu bandara di Cengkareng.
Dalam unggahan itu Irfan menulis kalau mereka dilepaskan seperti anak ayam tanpa induk.
Unggahan lengkapnya
Curhatan adik2.. Mungkin tidak tau harus mengucap syukur atau iba hati, bersyukur karena telah dipulangkan dengan selamat oleh Allah SWT, dan iba hati rasanya ketika sudah berjuang mati2an untuk mengharumkan nama daerah, tetapi ketika kalah kita dilepaskan seperti anak ayam tanpa induk, beruntung bentum abti masih memberikan bantuan untuk makan,,semoga hal ini tidak terjadi lagi mendatang, (ini foto keadaan kita menunggu transit 1 hari 1 malam di ckg) tidur hanya d kursi ruang tunggu
Menurut Sekretaris Umum Asosiasi Bola Tangan (ABTI) Sumbar, Septri, peristiwa itu terjadi 14 Oktober 2021 lalu.
Saat itu para atlet bola tangan harus pulang lebih dulu.
“Bola tangan itu harusnya pulang ke Padang pada tanggal 16 namun dipercepat sehingga tidak sesuai dengan jadwal yang diagendakan,” ucap Septri saat dihubungi Kamis (21/10/2021).
Akibat adanya percepatan ini para atlet harus berangkat sesuai dengan jadwal penerbangan yang tersedia.
Hal ini menurut Septri disebabkan karena penerbangan yang tersedia sangat terbatas di Papua.
Selain itu para atlet juga menggunakan penerbangan yang terkoneksi.
Tujuannya agar atlet tidak kesulitan saat memindahkan barang. Melalui penerbangan terkoneksi kemungkinan atlet ketinggalan pesawat juga jadi minim.
Akibat dari penerbangan terkoneksi ini membuat para atlet harus menunggu lama saat transit.
Bahkan menurut Septri transit itu bisa puluhan jam.
“Transitnya beragam tergantung penerbangannya, rentangnya bisa 20-36 jam,” ujarnya.
Septri juga menerangkan bahwa dengan adanya percepatan kepulangan para atlet bola tangan tentu kondisinya harus menyesuaikan dengan maskapai yang tersedia.
Sebagai Sekum Pengprov ABTI Sumbar , ia sudah menjelaskan pada para atlet malam sebelum keberangkatan terkait bagaimana keadaan yang terjadi saat itu.
“Sebenarnya saya sudah kumpulkan anak-anak sebelum kepulangan untuk menjelaskan situasi menjelang mereka bertolak ke Padang. Saya juga pesankan agar nantinya mereka tidak membahas hal-hal di luar kendali mereka,” bebernya via telepon.
Menurut Septri pada malam ia memberi penjelasan itu sebenarnya komunikasi berjalan lancar, namun ia mengaku tidak tahu kenapa akhirnya para atlet bisa mengasumsikan dirinya terlantar.
Bagi Septri sebenarnya jika kepulangan cabor bola tangan sesuai jadwal maka tidak ada transit yang memakan waktu selama itu.
Hal ini ia contohkan pada cabor tarung derajat yang hanya menjalani transit selama 2 jam.
Akibat harus melakukan transit sejak pukul 17.30 WIb (Kamis) hingga kembali berangkat ke Padang pukul 15.30 WIB (Jumat), setidaknya atlet cabor bola tangan harus menunggu selama 20 jam di Soekarno-Hatta.
Kondisi transit puluhan jam ini juga dibenarkan oleh Kepala Bidang Prestasi Dispora Sumbar Tasliatul Fuadi.
Menurut Fuad transit puluhan jam itu memang benar adanya baik di Jakarta maupun Makasar.
“Semuanya merasakan hal yang sama terkait transit dengan durasi panjang ini, hal ini bukan hanya terjadi pada atlet bola tangan. Malah seluruh atlet bahkan panitia dan pengurus kontingen Sumbar, itu realitanya sesuai dengan maskapai penerbangan yang ada di hari tersebut,” ucap Fuad saat dihubungi Kamis (21/10/2021).
Fuad juga menjelaskan bahwa sebenarnya Dispora dan KONI Sumbar sudah melakukan verifikasi anggaran, namun ia mengaku luput memperhitungkan waktu transit yang lebih dari 12 jam.
Sehingga hanya menganggarkan biaya konsumsi masing-masing orang sebesar Rp 150 ribu pulang pergi.
“Dalam anggarannya kami memang tidak ada menyediakan dana untuk penginapan saat transit. Menurut perkiraan kami waktu itu para kontingen nantinya hanya akan berada di bandara dengan waktu paling lama 6-8 jam,” paparnya.
“Kami mohon maaf atas ketidaknyamanan tersebut, itu sesuai ketersediaan anggaran,” terangnya.
Berdasarkan pembeberan tersebut tentu Irfan dan kawan-kawan hanya memiliki sisa uang saku sebesar Rp 75 ribu untuk menunggu transit selama 20 jam.
Mengingat kondisi transit yang sangat panjang, melalui unggahannya Irfan mengatakan bahwa ia dikirimi uang sebesar Rp 2 juta rupiah dari bendahara umum APTi Sumbar.
Isi unggahan Irfan itu dibenarkan oleh pelatih bola tangan Sumbar Seprinaldi.
Mnurutnya melihat keadaan tersebut tentu pengurus langsung mengirimkan bantuan.
Hal serupa itu sebenarnya juga terjadi pada cabor lain yang dibantu oleh Pengprov saat mengalami kendala seperti cabor silat dan atletik.
“Kalau dari KONI hanya uang saku sebanyak Rp 75 ribu, kita sama-sama tahu saja berapa biaya makan di bandara Soekarno Hatta,” terangnya saat dihubungi Kamis (21/10/2021).
Pelatih Bola Tangan Sumbar itu juga menyesalkan kenapa KONI Sumbar tidak memberikan penginapan pada para atlet saat melakukan transit.
“Menurut saya bahasa ditelantarkan itu munculnya dari sana, walau sebenarnya yang tidur di bandara banyak. Seperti taekwondo malah hampir keseluruhan,” bebernya.
Ia juga mengatakan bahwa penglihatannya daerah lain mendapatkan penginapan saat transit terkhusus juri dan wasit penginapannya disediakan.
Ia berharap sebenarnya KONI harus sigap menyikapi durasi transit yang panjang, minimal dengan memberikan penginapan murah yang berada di sekitar bandara.
Sehingga tidak ada atlet yang beristirahat di bandara.
Seprinaldi juga membeberkan bagaimana kondisi para atlet pada saat berangkat dari Papua, menurutnya cabor bola tangan berangkat sebanyak 15 orang dari Papua.
Di antaranya adalah 1 orang pelatih dan 14 orang atlet.
Dari 15 orang tersebut menurut Seprinaldi, 3 atlet dan 1 pelatih berdomisili di Jakarta dan Bogor. Sehingga tidak melanjutkan perjalanan ke Padang saat di Bandara Soekarno Hatta.
“Sebenarnya anak-anak didampingi oleh pelatih kita (Abdul Khadir) yang domisilinya di Bogor, tentu sampai di Jakarta Khadir serta 3 atlet harus berpisah dengan yang lain,” jelasnya.
Total sejak kepergian 3 atlet dan 1 pelatih, hanya bersisa 11 orang atlet bola tangan Sumbar yang harus menunggu transit selama 20 jam.
Hanya beranggotakan 11 orang tanpa pelatih Irfan menjelaskan diunggahnya “Iba Hati rasanya ketika sudah berjuang mati-matian untuk mengharumkan nama daerah tapi ketika kalah dilepas seperti anak ayam tanpa Induk. Beruntung bendum ABTI masih memberi bantuan makan. Semoga hal ini tidak terjadi lagi mendatang,” kutipan dari unggahan Irfan di Facebooknya.
Unggahan tersebut memunculkan asumsi bahwa atlet bola tangan ditelantarkan.
Foto unggahan tersebut yang memperlihatkan para atlet tidur di kursi ruang tunggu bandara.
Menanggapi unggahan tersebut Seprinaldi yang mengaku sudah bertemu dengan para atlet mengatakan, bahwa bahasa ditelantarkan ini bisa saja muncul karena rasa kekecewaan dari para atlet.
“Saya rasa bahasa ditelantarkan itu muncul dari rasa kecewa karena kalah, serta saat kepulangan anak-anak juga hanya ditemani beberapa waktu oleh pelatih (Khaidir). Khaidir tentu tidak menunggu selama anak-anak, setelah menemani beberapa waktu Khaidir juga ikut pulang,” jelasnya..
Sehingga Seprinaldi beranggapan anak-anak yang kecewa dan ditinggalkan oleh pelatihnya di bandara, memunculkan statement dilepas seperti “anak ayam tanpa induk”.
Menurut Seprinaldi karena unggahan tersebut di update di media sosial mudah memunculkan pro dan kontra.
Dampaknya terlihat setelah updatean tersebut direspon positif atau negatif oleh pihak yang melihatnya.
Kendati demikian Seprinaldi merasa tidak pantas juga bila harus berbicara banyak, karena ia sendiri tidak bisa mendampingi para atlet.
“Saya tidak bisa bicara banyak, soalnya saya pulang lebih awal karena ada kendala tugas,” jelasnya.
Senada dengan Seprinaldi, Sekum ABTI Sumbar Septri memandang bahasa ditelantarkan ini adalah dalih dari atlet bola tangan Sumbar yang belum bisa memperoleh prestasi.
“Saya mau jelaskan terlebih dahulu bagaimana persiapan dari para cabor bola tangan, nanti bisa dinilai apakah ini bentuk menelantarkan?,” tegas Septri.
Septri menyebutkan bahwa cabor bola tangan Sumbar sudah melakukan persiapan sejak bulan Januari.
Melakukan persiapan selama 2 bulan, pada bulan Maret para atlet sudah TC di Asrama Universitas Negeri Padang (UNP).
TC di Asrama UNP menurut Septri memiliki fasilitas yang sangat lengkap, para atlet juga diberi makan selama TC.
Setelah TC di Kota Padang, atlet bola tangan sumbar melanjutkan TC di Jawa Barat.
“Cabor yang melakukan TC di Jabar hanya Bola Tangan dan Atletik, selama di jabar anak-anak juga kita berikan fasilitas yang nyaman serta makanan persis seperti saat TC di Kota padang,” urainya.
Selain itu cabor bola tangan juga rutin melakukan try out untuk mematangkan persiapan jelang gelaran PON XX Papua.
Tidak lupa juga Septri menekankan bahwa para atlet bola tangan berangkat ke Jabar tidak menggunakan moda transportasi darat tapi udara.
Belum habis juga terkait persiapan cabor bola tangan, Septri juga mengumbar bahwa pelatih bola tangan Sumbar adalah pelatih Pelatnas Indonesia.
“Begitulah persiapan panjang atlet bola tangan Sumbar, namun jika hasilnya tidak sesuai yang diharapkan kita harus bagaimana? Terpenting kita sudah menjalankan persiapan dengan maksimal,” jelasnya.
Menurut Septri sebenarnya yang membuat bola tangan pulang lebih cepat karena sejak berada satu grup dengan DKI Jakarta dan Jabar yang akhirnya memperoleh prestasi.
“Kita tidak bisa pungkiri bahwa kita berada di grup neraka, anak-anak juga tidak main buruk kalahnya juga tipis,” bebernya.
Melalui penjabarannya itu Septri berharap apakah pantas jika cabor bola tangan disebut ditelantarkan dengan persiapan yang sedemikian rupa.
Diketahui juga bahwa banyak cabor yang mengeluh terkait persoalan latihan dan TC, namun bola tangan bisa melakukan TC di Jawa Barat.
“Jadi sebenarnya saya sedikit menyesali atlet yang sedang dalam situasi tersebut memberikan komentar berdasarkan situasinya saat itu,” terangnya.
Selaku Wakil Ketua Umum KONI Sumbar Septri juga menjelaskan bahwa kejadian transit berpuluh jam itu bukan hanya terjadi pada atlet bola tangan.
Ia sendiri juga merasakan hal yang sama saat berangkat ke Papua.
“Kondisi itu dirasakan oleh seluruh elemen yang berangkat ke Papua, baik itu atlet, pengurus koni dan yang lainnya merasakan hal serupa. Tapi jika pengurus mendapat perlakuan berbeda tentu wajar ada tuntutan dari para atlet, namun kenyataannya tidak,” terangnya.
Ia menegaskan bahwa tidak ada yang mendapatkan penginapan saat transit hingga persoalan cabor bola tangan terlantar ini menyebar luas.
Selaku Waketum di KONI Sumbar, Septri meminta maaf jika setelah semua yang didapatkan atlet bola tangan itu disebut menelantarkan.
Sebagai Waketum KONI, Septri merasa sudah berusaha semaksimal mungkin dalam mempersiapkan kenyamananan seluruh kontingen sejak keberangkatan hingga kepulangan.(*)