Jatuh Bangun Yusmaneli Rintis Usaha Keripik, Pernah Buang 80 Kg Singkong karena Cuaca Buruk
Jatuh Bangun Yusmaneli Rintis Usaha Kripik, Pernah Buang 80 Kg Singkong karena Cuaca Buruk
Penulis: Panji Rahmat | Editor: afrizal
Laporan Wartawan TribunPadang.com, Rahmat Panji
TRIBUNPADANG.COM, PADANG –Pengusaha keripik Ubi Anggun Kelurahan Batang Arau Kecamatan Padang Selatan, mengalami penurunan pemasukan selama pandemi Covid-19.
Hal ini disebabkan karena target pasar dari keripik Ubi Anggun adalah Kabupaten Mentawai dan para wisatawan yang berkunjung.
Pemilik keripik Ubi Anggun Yusmaneli (60) mengatakan hal ini terjadi karena adanya kebijakan PSBB dan lockdown akibat pandemi.
Baca juga: Peringatan Dini BMKG: Waspada Potensi Hujan Lebat dan Angin Kencang di Mentawai dan Pesisir Selatan
Baca juga: Harga Kebutuhan Pokok di Padang Hari Ini Kamis (22/4/2021), Harga Cabai, Daging Mengalami Penurunan
“Keripik saya ini targetnya adalah Mentawai dan para turis di sana, akibat pandemi jumlah turis menurun begitu juga dengan kapal keberangkatan ke mentawai,” jelasnya.
Kerugian bertambah ketika 2 pekan lalu, ketika cuaca buruk menimpa Sumatera Barat (Sumbar) sehingga kapal tujuan Padang-Mentawai tidak di izinkan untuk berangkat.
“Waktu cuaca buruk dan kapal tidak boleh berangkat itu saya harus membuang ubi saya karena sudah tidak bisa lagi dipasarkan,” jelas Yusmaneli.
Yusmaneli mengaku bahwa pada saat itu sebanyak 4 karung ubi yang terbuang, setiap karung itu isinya sekitar 20 Kg ubi.
Bisnis ini ia mulai pada tahun 2010 dengan almarhum suaminya yang meninggal pada tahun 2014.
“Usaha ini saya mulai bersama suami, awalnya cuma dalam skala kecil soalnya masih coba-coba,” Jelas ibu satu anak itu.
Awal usaha ini ia menjual keripik ubi itu ke warung sekitaran daerah Pondok, Padang Selatan.
“Dulu saya jual dengan harga Rp 1.000 atau Rp 2.000 per bungkusnya, jadi memang skala kecil,” tuturnya.
Usahanya sempat berhenti pada tahun 2012 ketika suaminya harus dirawat di rumah sakit sampai ia meninggal.
Oleh karena kepergian suaminya ia sempat berhenti untuk melanjutkan usaha.
“Saya rasa sulit untuk menjalankannya kembali pada saat itu, soalnya selama ini saya yang masak dan suami mengantarkan, waktu itu suami saya sudah tidak ada gimana cara melanjutkannya,” terang Yusmaneli.
Akhirnya pada tahun 2016 ia kembali merintis usahanya yang pernah jalan itu, bersama suami barunya yang bernama Wandi (42).
Bersama Wandi ia memulai kembali perjalanan usaha tersebut.
“Saya cari lagi langganan ubi saya di Pondok, setiap hari saya berdiri menunggu di sana sampai ia lewat,” paparnya.
Selang beberapa hari melakukan hal yang sama Yusmaneli akhirnya menemukan langganannya tersebut.
“Setelah bertemu dengan langganan saya, saya mintak tolong ia untuk mengantarkan ubi setiap 3-4 hari sekali sebanyak satu karung,” terang Yusmaneli.
Rumahnya yang terletak di kawasan Gunung Padang membuat langganannya sulit untuk menjangkau langsung ke rumahnya.
“Selama lebih satu tahun sebelum jalan Gunung Padang seperti ini saya harus menunggu di bawah jembatan layang Siti Nurbaya dan membawa ubi itu dengan motor ke rumah,” katanya.
Wanita yang sudah memilki 3 cucu itu bekerjasama dengan suaminya yang bekerja membawa kapal cepat ke Mentawai.
Sehingga seluruh ubi yang dimasak Yusmaneli diantar langsung oleh suaminya ke Mentawai.
“Sewaktu Suami saya masih aktif itu dalam satu bulan bisa habis 16 karung ubi dalam untuk keripik ubi,” katanya.
Keripik ubi yang ia masak dengan minyak dan diberi garam tersebut ia jual dengan harga Rp 50.000 per kg.
Namun untuk penjualan ke Mentawai biasanya ia membungkus keripik itu dalam kemasan seperempat kilogram.
Setiap keripik yang telah masak itu ia kirim dalam kurun waktu 4 kali dalam seminggu ke Mentawai.
“Tujuan pengiriman itu ke Tua Pejat dan Siberut,” terang Yusmaneli
Sejak memulai usahnya kembali pada tahun 2016, Yusmaneli mengaku ia sudah bisa memperbaiki rumahnya serta membeli kendaraan seperti motor dan mobil.
Usahanya redup kembali pada tahun 2020 tak kala pandemi Covid-19 membuat hampir seluruh roda ekonomi macet.
“Semenjak pandemi, saya hanya bisa menghabiskan 6-7 karung ubi perharinya,” jelasnya.
Pemasukan Yusmaneli menurun lebih dari setengah pada saat tahun 2020 sampai sekarang.
“Dulu itu saya bisa dapat Rp 9 – 10 Juta perbulannya namun semenjak pandemi hanya Rp 3-4 juta perbulannya,” terangnya.
Pemasukan itu sudah di luar keperluan ubi, minyak, garam serta plastic yang digunakan untuk berjualan oleh Yusmaneli.
“Walaupun dalam keadaan pandemi seperti ini, saya tidak begitu mengalami kesulitan karena di rumah saya hanya tinggal berdua dengan suami,” terangnya.(*)