Longsor Malalo

Begini Nasib Warga Pasca Longsor di Nagari Guguak Malalo Tanah Datar, Sumbar

Ardedi (44) merupakan salah satu keluarga korban bencana alam longsor di Nagari Guguak Malalo, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah Datar, Provin

Penulis: Rizka Desri Yusfita | Editor: Emil Mahmud
BPBD Tanah Datar
Alat membersihkan puing longsor di Malalo Tanah Datar, Minggu (5/4/2020). 

TRIBUNPADANG.COM, PADANG - Ardedi (44) merupakan salah satu keluarga korban bencana alam longsor di Nagari Guguak Malalo, Kecamatan Batipuah, Kabupaten Tanah Datar, Provinsi Sumatera Barat (Sumbar) pada 5 April lalu.

Dua orang korban tanah longsor yang ditemukan meninggal dunia sekitar pukul 13.45 WIB setelah pencarian petugas ialah ibu dan saudara laki-laki Ardedi.

Ardedi menuturkan saat kejadian ia sedang tak berada di lokasi.

Ia berada di PT Freeport Indonesia di Tembagapura, Papua untuk bekerja.

"Saat kejadian saya di Tembagapura, Papua. Kamis lalu, saya pulang ke kampung halaman," tutur Ardedi.

Ia menambahkan, material longsor menimpa serta mengakibatkan enam rumah warga rusak.

Rinciannya, dua rumah rusak ringan, tiga rumah rusak berat, dan satu rumah rusak sedang.

Kata Ardedi, rumah keluarganya terkena material longsor.

"Rumah keluarga saya, termasuk yang rusak berat dan hancur serta ada korban. Itu ibu dan kakak saya," ucap Ardedi.

Menurut penuturan warga setempat, kata Ardedi, situasi saat itu ada tumpukan genangan air yang turun dari atas bukit.

Ketika dinding air tidak kuat lagi menahan genangan air tersebut, akhirnya jebol dan tumpah.

"Kakak saya tinggal di rumahnya tepat di bawah jalan. Orang tua di atas jalan. Saat kejadian, air besar. Kakak keluar rumah dan diminta istrinya lari ke sebelah kanan," terang Ardedi.

Ardedi mengungkapkan, sejak longsor melanda dia bersama para keluarganya yang lain masih tinggal di pengungsian.

Ia dan keluarga terpaksa bertahan di pengungsian lantaran belum ada rumah untuk dihuni.

Harga Bawang Merah di Padang Merangkak Naik, Pedagang: Pasokan Berkurang

Harga Cabai Merah di Pasar Raya Padang Turun, Sentuh Rp 18 Ribu per Kg

Sementara, untuk relokasi sementara, kemungkinan baru akan dimulai besok, Rabu (15/4/2020).

Lalu untuk normalisasi sungai, sudah mulai dikerjakan.

"Kalau sekadar bantuan sehari-hari seperti pangan ada. Beras, mi, ayam, dan pangan lainnya hingga masa tanggap darurat habis Sabtu, 18 April 2020," jelas Ardedi.

Ardedi mengatakan ia dan keluarga sudah mengikuti rapat bersama BNPB, BPBD, Bupati, dan OPD terkait.

Pembicaraan rapat hanya sebatas, kalau seandainya ada lahan akan dikerjakan untuk pembangunan.

Kalau tidak ada lahan harus direlokasi sementara.

Pemkab Tanah Datar akan menyewakan rumah, tapi itu hanya untuk selama 6 bulan sewa.

"Selanjutnya, itu yang tidak jelas. Kalau ada lahan, paling cepat akan dibangun setahun lagi dan paling lambat tiga tahun lagi."

"Mereka memberikan solusi itu dan kami yang mencari lahan."

"Kalau masyarakat di sini tidak ada yang punya lahan. Jadi istilahnya lahan yang ada dikondisikan," jelas Ardedi.

Untuk itu, saat normalisasi di lereng-lereng bukit diharapkan semuanya harus dirapikan. Dibuat slot ke bawah. Mata air yang bercabang, dibuat lurus ke bawah.

Jika ada air besar maka air itu langsung mengalir lurus ke bawah. Jadi tidak ada kemungkinan kejadian yang sama terulang lagi.

Kalau seandainya dibangun rumah di lokasi yang sama, pemerintah tidak akan mengizinkan karena daerah tersebut termasuk zona merah.

"Menurut saya, sekeliling danau itu masuk zona merah. Soalnya semua rumah orang di bawah tebing."

"Solusinya, untuk dibangun di lokasi itu kembali tidak diperbolehkan, tapi kalau untuk mencari lahan sendiri bisa dibangunkan," terang Ardedi.

"Saya tantang, kalau ada lahan bagaimana? mereka langsung berkilah, paling cepat setahun, paling lama tiga tahun bisa dikerjakan," tutur Ardedi.

Ardedi menilai, solusi-solusi yang diberikan tidak masuk akal.

Sementara, orang di kampung tersebut rata -rata orang tidak mampu.

Untuk makan sehari-hari saja susah didapatkan.

"Dapat pagi habis petang, begitu sebaliknya. Mereka mayoritas nelayan dan petani. Kakak saya yang meninggal itu kerja cleaning service di PLTA."

"Istrinya masih di pengungsian dan shock," tambah Ardedi.

Kedepannya, menurut Ardedi, upaya pemerintah harus difokuskan tahap demi tahap, pertama relokasi sementara dulu.

Relokasi sementara, rumah penduduk setempat yang masih kosong disewa.

Rumah yang disewakan hanya di subsidi sebesar Rp 500 ribu per bulan.

Sementara, kata Ardedi, untuk kelanjutan biaya hidup selama enam bulan bagi keluarga terdampak belum ada solusi.

"Ini belum ada keputusan, rapat sebelumnya juga tidak ada hitam di atas putih. Hanya sekadar ngomong-ngomong."

"Kita maunya ke depan seperti apa, jelas step by stepnya bagaimana, tapi tidak ada. Kita hanya bisa diam," terang Ardedi.

Ardedi menambahkan, kekhawatiran sementara tinggal di lokasi yang rawan longsor pasti ada, tapi relokasi sementara yang direncanakan tidak di lokasi yang sama.

Menurut Ardedi, tidak ada salahnya jika relokasi sementara dibuatkan rumah sementara saja dulu.

Rumah sementara tersebut hak mutlak untuk yang relokasi.

Jadi kalau seandainya, lebih dari enam bulan, dia masih bisa bertahan di rumah sementara itu.

"Tetapi, Pemkab tidak mau, pertimbangannya biayanya cukup besar. Dia mau sewakan rumah, otomatis budgetnya lebih besar," kata Ardedi.

Ardedi dan keluarga saat ini masih di pengungsian. Semua anggota keluarganya berkumpul.

Rencananya, ia akan kembali ke Tembagapura hari ini tapi karena belum ada keputusan yang jelas terkait nasib keluarganya, ia menunda hingga pekan depan. (*)

Sumber: Tribun Padang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved