Mengenang Sutan Syahrir: 9 April 53 Tahun Lalu, Pahlawan dari Ranah Minang Itu Wafat di Swiss

9 April, 53 tahun yang lalu, seorang tokoh pergerakan dan pendiri bangsa negara Indonesia yang berasal dari Ranah Minang, Sutan Syahrir.

Editor: Saridal Maijar
IST/TribunJogja.com
Soekarno dan Sutan Syahrir 

TRIBUNPADANG.COM – Hari ini, Selasa (9/4/2019), 53 tahun yang lalu, seorang tokoh pergerakan dan pendiri bangsa negara Indonesia yang dari Ranah Minang, Sutan Syahrir, tutup usia di Zurich, Swiss.

Ia meninggal pada usia 57 tahun akibat sakit stroke yang dideritanya sejak ia ditangkap dan dipenjarakan tanpa pernah diadili pada 1962-1965.

Sutan Syahrir, kawan seiring Ir Soekarno dan Mohammad Hatta di masa perjuangan kemerdekaan itu, dianggap terlibat makar karena bergabung dengan kelompok pemberontak PRRI.

Partai Sosialis Indonesia (PSI), parpol yang dibidani dan dipimpinnya, dibubarkan Bung Karno pada 1960. Sejak itu Syahrir drop, hingga meninggalnya pada 9 April 1966.

Siapa sesungguhnya tokoh yang dijuluki Bung Kecil ini? Apa kontribusinya bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia? Mengapa ia dicampakkan Bung Karno?

Sutan Syahrir, Soekarno dan Hatta
Sutan Syahrir, Soekarno dan Hatta (IST/TribunJogja.com)

Soetan Sjahrir, namanya dalam ejaan lama, dilahirkan di Padang Panjang, Sumatera Barat pada 5 Maret 1909. Ia seorang intelektual, perintis, dan revolusioner kemerdekaan Indonesia.

Tubuhnya yang mungil dan ia sekaligus seperti bayangan Soekarno yang bertubuh besar, membuatnya dijuluki Bung Kecil. Soekarno adalah Bung Besar-nya.

Lahir dari pasangan Mohammad Rasad gelar Maharaja Soetan bin Soetan Leman gelar Soetan Palindih dan Puti Siti Rabiah yang berasal dari Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat.

Ayahnya menjabat sebagai penasehat Sultan Deli dan Kepala Jaksa (landraad) di Medan. Untuk ukuran saat itu, jelas Syahrir hidup di tengah keluarga yang mentereng.

Syahrir ini bersaudara seayah dengan Rohana Kudus, yang dikenal sebagai aktifis serta wartawan wanita yang terkemuka.

Sambut Peringatan HUT TNI AU, Keluarga Besar Lanud Sutan Sjahrir Padang Ziarah ke Makam Pahlawan

Diduga Hina Pahlawan Nasional Agus Salim, Rocky Gerung Dilaporkan ke Polda Sumbar

14 Lukisan Pahlawan Karya Zardi Syahrir Terpajang di Auditorium Gubernur Sumbar

Syahrir mengenyam Sekolah Dasar (ELS) dan Sekolah Menengah (Mulo) terbaik di Kota Medan. Ia mulai mengenal buku-buku terbaik dari asing dan ratusan novel Belanda.

Tahun 1926, ia melanjutkan ke AMS di Bandung. Ini sekolah termahal di Hindia Belanda, yang siswanya benar-benar terpilih.

Syahrir ikut perkumpulan teater, aktif di banyak kegiatan, dan ia menjadi bintang sekolah. Di luar sekolah, ia aktif di pergerakan kaum nasionalis.

Pada 20 Februari 1927, ia mendirikan Jong Indonesia (Pemuda Indonesia), yang kemudian jadi motor utama Kongres Pemuda Indonesia I 1928.

Lulus AMS, ia melanjutkan pendidikan ke negeri Belanda. Syahrir memilih jurusan hukum di Universitas Amsterdam. Di kota inilah Syahrir serius mempelajari sosialisme.

Ia akrab dengan Salomon Tas, Ketua Klub Mahasiswa Sosial Demokrat Belanda, dan istrinya Maria Duchateau.

Kelak Syahrir menikahi Maria Duchateau, meski hanya sebentar. Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas menceritakan Syahrir muda yang mencari teman-teman radikal.

Anak Minang itu berkelana kian jauh ke kiri, hingga masuk ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme, dengan bertahan hidup secara kolektif.

Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transprtasui Internasional.

Tapi ia juga aktif di Perhimpunan Indonesia di Belanda, yang ketika itu dipimpin Mohammad Hatta. Akhir 1931, Sutan Syahrir pulang ke tanah air, sebelum menamatkan belajarnya.

Syahrir terpanggil pulang setelah mendengar situasi politik di negerinya. Soekarno ditangkap, Partai Nasional Indonesia (PNI) dibubarkan.

Hatta dan Syahrir berunding, salah seorang dari mereka harus pulang. Syahrir merelakan diri, dan mengorbankan kuliahnya untuk menyelamatkan pergerakan.

Ia lantas menggerakkan kembali Partai Nasional Indonesia (PNI) Baru, disusul kepulangan Hatta pada Agustus 1932. Syahrir juga konsisten di pergerakan buruh, dan Mei 1933, ia jadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.

Di tangan Hatta-Syahrir, PNI Baru ini dianggap lebih radikal, ketimbang masa Soekarno sebelumnya. Jika Soekarno mengandalkan mobilisasi massa, maka Hatta-Syahrir mendidik kader menjadi siap gerak ke arah revolusioner.

Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, Hatta, Syahrir dan elite nasionalis lain ke Boven Digoel. Setahun di sana, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira, menjalani pembuangan selama enam tahun.

Ketika balatentara Nippon menyapu Asia, Hatta dan Syahrir kembali bergerak di Jawa. Tak kapok, keduanya bersama tokoh lain kembali memimpin pergerakan kemerdekaan.

Kali ini Hatta dan Syahrir agak bersimpang jalan. Bersama Soekarno, Hatta memilih politik kerjasama (kooperatif) dengan Jepang.

Sementara Syahrir menolak, dan membangun jaringan bawah anti-fasisme. Ia yakin Jepang takkan menang perang, karena itu rakyat Indonesia harus siap mengambil peluang merebut kemerdekaan.

Keyakinan Syahrir menemukan jalannya ketika Jepang perlahan mengalami kekalahan di berbagai front setelah sukses menyapu Asia sejak politik ekspansi mereka dimulai 1942.

Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kalah pada AS. Syahrir dan kelompoknya mendesak Soekarno-Hatta agar mengambil momentum merebut kemerdekaan.

Sayang, Soekarno-Hatta memilih normatif dan menunggu pernyataan resmi Jepang. Saat itu telah terbentuk PPKI, atas restu Jepang. Proklamasi kemerdekaan juga sudah dijadwalkan.

Syahrir kecewa berat karena dengan mengikuti agenda Jepang, baginya kemerdekaan itu ibarat hadiah belaka.

Bersama-sama kawan pemuda radikal lain, Syahrir merancang operasi penculikan Soekarno-Hatta. Tanggal 16 Agustus 1945, keduanya diculik dan dibawa ke Rengasdengklok, Karawang.

Nama-nama tokoh yang merancang penculikan selain Syahrir adalah Soekarni, Wikana, Aidit, dan Chaerul Saleh. Mereka menyebut dirinya dari kelompok Menteng 31.

Soekarno dan Hatta diangkut ke Rengasdengklok pada 16 Agustus 1945 pukul 03.00. Turut dibawa Fatmawati dan putranya Guntur yang masih kecil.

Sempat menolak desakan kaum pemuda radikal nasionalis, yang di sisi lain merencanakan gerakan perebutan kekuasan di Jakarta, Soekarno-Hatta akhirnya menyerah.

Tanggal 17 Agustus 1945, keduanya membacakan teks Proklamasi Kemerdekaan RI yang disusun di Rengasdengklok.

Indonesia Merdeka berkumandang di Pegangsaan Timur 57.(Tribunjogja.com/berbagai sumber/xna)

Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved