Mengenang Sutan Syahrir: 9 April 53 Tahun Lalu, Pahlawan dari Ranah Minang Itu Wafat di Swiss
9 April, 53 tahun yang lalu, seorang tokoh pergerakan dan pendiri bangsa negara Indonesia yang berasal dari Ranah Minang, Sutan Syahrir.
Kelak Syahrir menikahi Maria Duchateau, meski hanya sebentar. Dalam tulisan kenangannya, Salomon Tas menceritakan Syahrir muda yang mencari teman-teman radikal.
Anak Minang itu berkelana kian jauh ke kiri, hingga masuk ke kalangan anarkis yang mengharamkan segala hal berbau kapitalisme, dengan bertahan hidup secara kolektif.
Demi lebih mengenal dunia proletar dan organisasi pergerakannya, Syahrir pun bekerja pada Sekretariat Federasi Buruh Transprtasui Internasional.
Tapi ia juga aktif di Perhimpunan Indonesia di Belanda, yang ketika itu dipimpin Mohammad Hatta. Akhir 1931, Sutan Syahrir pulang ke tanah air, sebelum menamatkan belajarnya.
Syahrir terpanggil pulang setelah mendengar situasi politik di negerinya. Soekarno ditangkap, Partai Nasional Indonesia (PNI) dibubarkan.
Hatta dan Syahrir berunding, salah seorang dari mereka harus pulang. Syahrir merelakan diri, dan mengorbankan kuliahnya untuk menyelamatkan pergerakan.
Ia lantas menggerakkan kembali Partai Nasional Indonesia (PNI) Baru, disusul kepulangan Hatta pada Agustus 1932. Syahrir juga konsisten di pergerakan buruh, dan Mei 1933, ia jadi Ketua Kongres Kaum Buruh Indonesia.
Di tangan Hatta-Syahrir, PNI Baru ini dianggap lebih radikal, ketimbang masa Soekarno sebelumnya. Jika Soekarno mengandalkan mobilisasi massa, maka Hatta-Syahrir mendidik kader menjadi siap gerak ke arah revolusioner.
Februari 1934, pemerintah kolonial Belanda menangkap, memenjarakan, Hatta, Syahrir dan elite nasionalis lain ke Boven Digoel. Setahun di sana, Hatta dan Syahrir dipindahkan ke Banda Neira, menjalani pembuangan selama enam tahun.
Ketika balatentara Nippon menyapu Asia, Hatta dan Syahrir kembali bergerak di Jawa. Tak kapok, keduanya bersama tokoh lain kembali memimpin pergerakan kemerdekaan.
Kali ini Hatta dan Syahrir agak bersimpang jalan. Bersama Soekarno, Hatta memilih politik kerjasama (kooperatif) dengan Jepang.
Sementara Syahrir menolak, dan membangun jaringan bawah anti-fasisme. Ia yakin Jepang takkan menang perang, karena itu rakyat Indonesia harus siap mengambil peluang merebut kemerdekaan.
Keyakinan Syahrir menemukan jalannya ketika Jepang perlahan mengalami kekalahan di berbagai front setelah sukses menyapu Asia sejak politik ekspansi mereka dimulai 1942.
Pada 15 Agustus 1945, Jepang menyerah kalah pada AS. Syahrir dan kelompoknya mendesak Soekarno-Hatta agar mengambil momentum merebut kemerdekaan.
Sayang, Soekarno-Hatta memilih normatif dan menunggu pernyataan resmi Jepang. Saat itu telah terbentuk PPKI, atas restu Jepang. Proklamasi kemerdekaan juga sudah dijadwalkan.