Menyapa Nusantara

Urgensi Membangun Eksosistem Data Pangan Terintegrasi

Fragmentasi data pangan masih menjadi persoalan bagi Bangsa Indonesia, sehingga seringkali keputusan pemerintah di sektor pangan dipersoalkan publik.

Editor: Emil Mahmud
DOK: ANTARA
HASIL FOTO UDARA - Tampak foto udara petani memanen padi menggunakan mesin combine harvester di areal persawahan Kawasan Sukodono, Sidoarjo, Jawa Timur, Selasa (23/9/2025). Data Badan Pusat Statistik (BPS) memproyeksikan produksi padi Indonesia dari Januari hingga Oktober 2025 mencapai 53,87 juta ton Gabah Kering Giling (GKG), meningkat 12,17 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2024, menunjukkan tren positif pada sektor pertanian dan menjaga ketersediaan pangan nasional. ANTARA FOTO 

Perbedaan ketiga data tersebut bukan untuk diperdebatkan karena sumber data yang sama diolah dengan definisi dan metodologi yang berbeda juga tentu hasilnya berbeda. Apalagi jika sumber data yang digunakan memang berbeda, sehingga perbedaan hasil merupakan sebuah keniscayaan.

Dengan sistem penjaminan mutu berlapis yang disebut quality gates, model ini memastikan akurasi minimal 80 persen dan deviasi estimasi tidak lebih dari 5 persen terhadap data resmi.

Lebih dari itu, mixed method produk BPS gabungan data kerangka sampel area (KSA) dan data satelit juga membuka peluang besar menuju real-time crop monitoring, sesuatu yang dulu hanya bisa diimpikan. BRIN dan BPS sebenarnya sedang memperlihatkan satu hal penting bahwa pangan tidak bisa dilepaskan dari geospasial.

Baca juga: Bupati Yulianto Tinjau Langsung Pembagian Makanan Bergizi Gratis untuk Siswa MTSN 4 Pasaman Barat

Di sisi lain, Bappenas juga telah menegaskan pentingnya data spasial untuk perencanaan pangan jangka panjang.

Melalui platform Indonesia Data Management for Agricultural Information (IDMAI) yang dapat diakses di pangan.bappenas.go.id, perencana dapat memantau selain prediksi luas panen juga memantau alih fungsi lahan pertanian, dan kebutuhan irigasi berbasis data geotagging.

Dengan dukungan proyeksi dan skenario berbasis kecerdasan buatan (AI), perencanaan pembangunan kini lebih dari sekadar membaca tren masa lalu, tetapi juga menyiapkan masa depan yang terukur.

Kementerian Pertanian juga telah memiliki website data pangan. Pada kasus demikian, tantangan utama bangsa ini adalah mengolaborasikan fragmentasi data dengan Geoportal hub connection.

Di sinilah geospatial intelligence berperan, yakni kemampuan mengubah data spasial menjadi wawasan (insight) untuk pengambilan keputusan.

Demikian pula subsektor pangan yang lain, yaitu Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) juga tentu memiliki dan menunjukkan bagaimana geoinformatika bisa diterapkan untuk pangan biru.

Data spasial dari 11 wilayah pengelolaan perikanan (WPP) menunjukkan status stok ikan pelagis besar dan kecil, dengan warna-warna yang menandai zona aman, hati-hati, atau kritis.

Sistem ini menjadi dasar penerapan penangkapan ikan terukur berbasis kuota, program unggulan KKP untuk menjaga keberlanjutan laut Indonesia.

Ekonomi biru

Dengan produksi ikan dan rumput laut pada kisaran 20–25 juta ton per tahun, Indonesia memiliki potensi besar sebagai lumbung protein dunia.

Baca juga: Pihak Penginapan di Solok Datangi Rumah Duka Cindy, Keluarga Sebut Pertanggungjawaban Belum Jelas

Dengan luas wilayah laut mencapai lebih dari 6,4 juta kilometer persegi yang menyimpan sumber daya pangan hayati dan nonhayati yang berlimpah, potensi ekonomi biru Indonesia seharusnya dapat dioptimalkan untuk mendukung ketahanan pangan nasional dan global.

Tekanan aktivitas manusia, penurunan kawasan konservasi, dan perubahan iklim mengancam keseimbangan ekosistem laut.

Halaman 2 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved