Citizen Journalism
Opini: Negara Lunak
ADA banyak makna atau hikmah yang terkandung dari ibadah puasa dalam bulan Ramadan yang baru saja kita jalani. Salah satu di antaranya adalah puasa
Oleh: Alfitri, Dosen Departemen Sosiologi FISIP Universitas Andalas
ADA banyak makna atau hikmah yang terkandung dari ibadah puasa dalam bulan Ramadan yang baru saja kita jalani. Salah satu di antaranya adalah puasa Ramadan mengajarkan dan melatih diri untuk disiplin dan tertib dalam menjalankan kehidupan.
Setiap kita dalam melaksanakan puasa Ramadan dilatih untuk menjaga disiplin waktu, misalnya, dengan sahur menjelang imsak dan berbuka setelah adzan magrib berkumandang.
Lalu, sepanjang siangnya kita diharuskan untuk melakukan pengendalian diri untuk tidak melakukan hal-hal yang dapat membatalkan puasa atau pun mengurangi nilai ibadah puasa.
Seberapa baik disiplin atau pengendalian diri itu dilakukan, hanya diri sendiri dan Allah SWT saja yang tahu; pasangan kita di rumah, rekan kerja atau pun bos di kantor tidak tahu.
Tidak ada kontrol dari siapa pun, dan alhamdulillah, sebagian besar dari kita dapat menjalankannya dengan baik, sampai hari kemenangan pada tanggal 1 Syawal itu tiba dan dirayakan.
Tapi apakah kemenangan itu nyata adanya? Apakah sikap disiplin yang sudah dilatih
selama sebulan penuh tersebut membekas dan berlanjut dalam kehidupan sosial sesudah
Ramadan?
Lihatlah, misalnya, di pagi Idul Fitri yang baru dirayakan itu, banyak kertas koran dan plastik bekas alas sajadah berserakan di halaman Kantor Gubernur Sumatera Barat seusai pelaksanaan Salat Ied.
Kendati sebelumnya sudah diingatkan panitia melalui pengeras suara agar koran dan plastik bekas alas sajadah itu dikumpulkan lagi setelah shalat, namun tidak digubris oleh para jemaah (TribunPadang.com 31/3/2025).
Tidak banyak dari jemaah yang sudah terlatih untuk disiplin selama Ramadan itu memiliki kesadaran dan mampu disiplin untuk melipat korannya kembali dan menaruhnya di tempat sampah atau tempat lain yang sudah ditentukan. Padahal melipat koran atau plastik yang sudah dipakai sebagai alas sajadah masing-masing itu bukanlah pekerjaan berat.
Tapi toh tidak banyak yang melakukannya dan akhirnya petugas kebersihan jugalah yang dikerahkan membersihkannya. Koran dan plastik yang berserakan di lapangan tempat shalat Ied tersebut seakan merefleksikan itulah wajah kita yang sebenarnya.
Contoh lain, adalah sebagaimana yang rutin kita alami dan diberitakan koran setiap perayaan lebaran atau rirayo di Ranah Minang ini, terutama pada jalur jalan Padang-Bukittinggi yang selalu macet sampai H plus sekian.
Kemacetan luar biasa pada hari-hari sesudah lebaran di jalur ini kini juga menjadi trending topic yang ramai diperbincangkan dan dikeluhkan di berbagai media sosial seperti Facebook, WhatsApp/WA group dan media sosial lainnya.
Kecuali memang karena volume kendaraan berlalu lintas yang jauh meningkat di jalur tersebut, namun sebagaimana yang dapat diamati, kemacetan tersebut juga disebabkan oleh perilaku sebagian anggota masyarakat yang tidak atau kurang disiplin dalam berlalu lintas.
Petugas Polantas sudah disiagakan dan rambu jalan pun sudah ditambah dan dilengkapi, tapi itu menjadi tidak ada artinya akibat ketiadaan disiplin dari sebagian pengendara.
Memotong jalur antrian kendaraan, menerobos lampu merah di persimpangan, dan parkir kendaraan sembarangan tempat di badan jalan adalah perilaku yang kerap ditemukan dan dapat menimbulkan kemacetan arus lalu lintas. Sementara petugas pun tampaknya kewalahan untuk menegakkan aturan sebagaimana mestinya.
Dua hal di atas menunjukkan bahwa disiplin diri yang senantiasa dilatih melalui berbagai ibadah dalam ajaran Islam, dan terutama dilakukan pada bulan Ramadan itu tampaknya belum bertransformasi dan diaktualisasikan menjadi suatu disiplin sosial.
Disiplin sosial di sini dapat diartikan sebagai suatu keadaan di mana setiap individu dengan rasa tanggungjawabnya sebagai anggota masyarakat dapat mematuhi peraturan dan norma yang ada sehingga masing-masingnya kemudian secara bersama dapat mewujudkan suatu masyarakat yang tertib dan maju.
Sampah yang berserakan dan lalu lintas yang macet dan semrawut, baik pada saat lebaran maupun pada hari-hari biasa menunjukkan disiplin sosial yang rendah dan kehidupan yang belum cerdas. Kendati secara sendiri-sendiri sebagian masyarakat kita sudah berusaha untuk disiplin, tapi secara kolektif tampaknya itu belum terwujud dalam kehidupan sosial.
Padahal Islam mengajarkan itu semua; budaya hidup bersih, tertib, dan disiplin sosial yang tinggi. Tampaknya masyarakat kita masih terperangkap dalam ciri dari kondisi sebagai “negara lunak” (soft state).
Adalah Gunnar Myrdal, seorang ekonom yang gandrung dengan analisis sosiologi, pemenang Hadiah Nobel tahun 1974, yang menggunakan konsep “negara lunak” atau soft state untuk menerangkan keadaan suatu masyarakat/bangsa yang ditandai oleh rendahnya rasa tanggungjawab.
Seiring rendahnya disiplin sosial warga/anggota masyarakatnya serta di pihak lain ditandai pula oleh rendahnya kemampuan pemerintah untuk menegakkan peraturan sebagaimana mestinya.
Menurut Myrdal, dalam bukunya yang terkenal, Asian Drama: An Inquiry Into the Poverty of Nations (1972: 182), disiplin sosial yang rendah ini adalah ciri fundamental yang membedakan antara negara sedang berkembang dengan negara-negara maju.
Pada halaman lain dari bukunya tersebut, Myrdal juga menyebutkan bahwa kenaikan tingkat pendidikan belum tentu pula menjamin meningkatnya disiplin sosial warga masyarakat.
Baca juga: BMKG Prediksi Cuaca Sumbar Hari Ini: Hujan Lebat di Beberapa Wilayah, Siap-Siap Bawa Payung!

Baca juga: Arus Balik di Simpang Lubuk Selasih Solok Ramai Lancar H+3 Lebaran, Polisi Siaga Amankan Lalu Lintas
Dengan kata lain, orang yang sudah bersekolah (tinggi) belum tentu juga terdidik (well educated). Dalam kehidupan keseharian masyarakat kita, dengan mudah kiranya dapat ditemukan banyaknya orang yang sebetulnya bersekolah tinggi tapi tidak menunjukkan perilaku selayaknya orang terdidik, dan disiplin sosial yang rendah, seperti tidak menjaga kebersihan lingkungan dan tidak mematuhi peraturan lalu lintas, dsb.
Banyak orang yang sudah berkesempatan pergi ke luar negeri ke negara-negara yang lebih maju seperti Singapura, Jepang, Australia, dll, terkesan merasakan atmosfir yang berbeda dan nyaman lantaran berada dalam masyarakat yang tertib, dan memiliki disiplin sosial yang tinggi, kendatisebagian besar mereka bukan penganut Islam.
Warganya memiliki tanggungjawab dan berdisiplin, sementara di sisi lain pemerintahnya pun mampu
menegakkan aturan. Bukan tidak mungkin hal yang sama juga dapat diwujudkan di negeri
kita.
Dengan dorongan dan komitmen bersama, anggota masyarakat yang bertanggungjawab/disiplin sosial yang tinggi dan pemerintah yang kuat insyaAllah juga dapat diwujudkan.
Semoga dengan momentum perayaan Idul Fitri kali ini kita dapat bergerak keluar dari perangkap kondisi negara lunak tersebut.*
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.