Citizen Journalism
Sementara Menunggu Godot: Ujian Resital Pemeranan Jurusan Teater ISI Padang Panjang
Pertunjukan “Menunggu Godot” tidak bisa dipisahkan dari gagasan naskah drama yang ditulis oleh Samuel Beckett, pada tahun 1948, dipentaskan pertama
Oleh Tatang R. Macan, Pengamat seni pertunjukan, Praktisi teater, Perfomer, Sutradara teater, Dosen Seni Teater ISI Padang Panjang
PENGAMATAN pertunjukan “Menunggu Godot” tidak bisa dipisahkan dari gagasan naskah drama yang ditulis oleh Samuel Beckett, pada Tahun 1948, dipentaskan pertama kali di Theatre Babylone, Boulevard Raspail, Paris. Di Indonesia drama ini mulai dikenal luas dari terjemahan WS Rendra sejak pentas Bengkel Teater di Teater Besar TIM 1969.
Hingga perkembangannya sekarang, banyak dari kalangan sastra dan praktisi teater di Indonesia merasa penasaran terganggu imaji pemikirannya dari karya besar Samuel Beckett ini. Demikian juga dengan pertunjukan drama kali ini dengan judul “Sementara Menunggu Godot” terjemahan B. Very Handayani dari naskah drama yang sama, yakni; “Waiting for Godot” (1948).
Pertunjukan drama “Sementara Menunggu Godot” dengan arahan sutradara Pandu Birowo, ditampilkan pada Jumat, tanggal 14 Juni 2024, pukul 20.00 WIB di Teater Arena Mursal Esten ISI Padang Panjang. Pertunjukan drama “Sementara Menunggu Godot” menampilkan mahasiswa yang teruji M Fauzan sebagai tokoh Estragon (Gogo), Faridho Yuda sebagai tokoh Vladimir (Didi), dan peran pendukung terselenggaranya ujian resital, yakni; tokoh Pozzo dibawakan oleh Rafi Razak, dan tokoh Lucky oleh Alfian Ramadan, sedangkan anak kecil diperankan oleh Ghea Nabila Athifa.
Pada malam perhelatan pertunjukan drama, cukup ramai dihadiri kurang lebih 200 orang apresiator dari kalangan dosen Jurusan Teater dan mahasiswa, serta dosen dan mahasiswa dari jurusan lainnya dilingkungan ISI Padang Panjang. Situasi penonton pertunjukan seperti ini diuntungkan karena kondisi mahasiswa masih mengikuti rentetan ujian semesteran.
Dua tokoh dari naskah drama ini yakni, Estragon dan Vladimir, ditampilkan dengan rias wajah agak lebih nature, meskipun terkesan seolah badut karena tampak kedua tokoh tersebut bermain dengan kaki-kaki mereka dibuat pincang sebelah.
Gerak-gerik keduanya dipresentasikan sutradara sedikit konyol dan karikatur, sedangkan tokoh-tokoh lainnya ditampilkan dengan rias wajah secara alami (nature). Panggung area permainan Teater Arena ditutup penuh hamparan dan gundukan yang mengesankan seolah tanah kering berpasir kusam kecoklatan.
Sedikit agak kebelakang dekat backdroup layar putih, di atas gundukan tanah yang menggunung ada latar sebuah pohon yang meranggas dengan ranting-rantinya yang kering. Pada tafsir Pandu Birowo sebagai sutradara, kali ini kehadiran pohon itu dibuat tidak pernah tumbuh besar menjulang ke langit. Pada perubahan adegan pohon dengan ranting-ranting kering yang tidak pernah tumbuh besar itu, dibeberi lilitan beberapa daun yang tampak hijau di antara ranting kering. Perubahan adegan itupun dimaknai sebagai perubahan dari pergeseran waktu.
Pemandangan awal mengamati area panggung pertunjukan drama ini, ingatan saya seketika langsung dibawa pada kejadian yang baru terjadi pada pertengahan Mei 2024 ke belakang terkait banjir bandang erupsi lahar dingin Merapi yang meluluh lantakan sebagian kota-kota di Sumatera Barat. Oleh sebab, latar tempat diperlihatkan dibelakang kanan panggung belakang tampak beberapa batang pohon yang tumbang.
Beberapa pohon tumbang itu ditata di atas panggung yang ditimbun hamparan seperti tanah berpasir yang terasa masih basah dengan warna kusam kecoklatan. Area panggung ditutupi penuh hamparan semacam material tanah tersebut, mendekati kesan alami dan tidak lagi berbicara tafsir simbol-simbol semiotik. Area penataan sett panggung sangat terasa berat dan lengket.
Hal seperti ini rasanya menjadi agak paradoks, dengan kedalaman tema naskah drama “Menunggu Godot”, meskipun pada pertunjukan kali ini menjadi “Sementara Menunggu Godot”. Namun naskah drama tersebut dari satu sumber yang sama, yakni; “Waiting for Godot” karya; Samuel Beckett sebagai karya sastra kontemporer.
Naskah drama ini sudah cukup berat dengan jalinan sastra kontemporer dan peristiwa yang memuat nilai-nilai filosofi absurditas. Sehingga semestinya ada tafsir yang mampu memperingan kehadiran pertunjukan supaya tidak monoton membosankan.
***
DRAMA ini berkisah tentang dua orang gelandangan dalam penantian, ditulis Samuel Beckett yang lahir di Irlandia 1906. Dalam usianya yang sangat muda ia dipercaya menjadi dosen sastra Inggris di Ecole Normale Superieure, Paris. Posisinya kemudian menghantarkan untuk terlibat dalam gerakan sastra baru, sebagai penulis drama kontemporer yang menonjol di Perancis.
Beckett dikenal sebagai pengarang dua bahasa, selain menulis drama “Waiting for Godot”, dikenal juga melalui karya drama yang berjudul “Fin de Farty” (1957), kemudian diterjemakan ke dalam bahasa Inggris tahun 1958. Seperti halnya Albert Camus, dan JP. Sartre, Beckett juga terlibat sebagai kaum partisan Perancis dalam perlawanan menentang penjajahan Nazi Jerman. Peristiwa itu membekas dalam dirinya, dan ia tuangkan di dalam naskah drama “Menunggu Godot”, melalui simbol semiotis sepatu boot yang begitu susah sulit dibuka oleh Estragon.

Seperti halnya disampaikan Bakdi Soemanto (2001), “Perang Dunia telah membuyarkan konsep tragedi model Yunani dan Shakespeare, akan tetapi pengalaman tragika manusia tidak kunjung selesai. Gereja, pada sisi tertentu, tinggal sebuah gedung dan bayang-bayang institusi, juga tafsir kitab suci”.
Pertunjukan drama ini ditandai oleh kehadiran Estragon yang berjalan dengan gerakan yang canggung, dibelakangnya Vladimir yang sedang berjalan mengitarinya, sambil sesekali mengarahkan pandang ke tempat yang jauh. Estragon tampak sibuk dengan kakinya, kadang menendangkannya. Setelah berkali-kali mencoba membuka sepatu dan tidak pernah berhasil, ia kemudian duduk di atas gundukan tanah dengan lunglai.
Ia mulai buka pembicaraan, tentang hidup yang tidak bisa dilakukan lagi, namun Vladimir menimpalinya dengan niatan mulai merumuskan pikiran-pikiran itu. Pembicaraan yang tampak sederhana itu terus berlanjut berulang-ulang, kadang terjadi konyol, namun kadang memacing penonton menjadi tertawa nyaman.
Penonton tertawa, karena dari pembicaraan Estragon dan Vladimir yang diperankan (M. Fauzan dan Faridho Yuda) terkadang tampak terasa logis dan tidak terasa dibuat-buat untuk melawak.
Meskipun gerak permainan peran kedua pemeran ini dibuat sangat lamban oleh tafsir sutradara, dan sutradara konsisten mengarahkan permainan peran Estragon beserta Vladimir pada akting yang bersifat alami.
Dalam perwujudan pertunjukan drama yang terkait dengan aktor dan sutradara dapat kita lihat bagaimana dua teori konvensional memberikan peranan berbeda terhadap sutradara dan aktor. Misalnya teori Laissez Faire dan Gordon Craig. Laissez Faire menekankan pada aktor-aktor lah yang sesungguhnya bisa mengkreasi dan memberi bobot pada pertunjukan drama, bukan sutradara.
Seorang sutradara dalam teori Laissez Faire ditempatkan hanya sebagai interpretator. Hal ini tentunya berbeda dengan Gordon Craig yang lebih menekan otoritas sepenuhnya pada sutradara, dan aktor-aktor diibaratkan sebagai boneka, sutradara ditempatkan pada kedudukan yang lebih dominan.
Pendekatan teori Laissez Faire ini, ternyata pada pertunjukan drama “Sementara Menunggu Godot” sebagai materi ujian resital pemeranan tidak dimanfaatkan oleh pemeran yang sebenarnya sedang menempuh ujian pemeranan tingkat sarjana. M. Fauzan dan Faridho Yuda, ketika berperan menampilkan sosok tokoh Estragon dan Vladimir, tampak monoton dengan tempo permaianan yang lamban dari awal adegan hingga akhir adegan pertunjukan drama ini.
Dalam posisi ini sebenarnya aktor dan sutradara mampu melakukan kompromi artistik, aktor atau pemeran bisa melakukan tafsir pendekatan kerja transformasi dari teks verbal menuju panggung.
Saya terkesan dengan “transformasi” menurut Strauss (1959) yang mengisyaratkan penilaian baru tentang diri pribadi dan orang lain, tentang peristiwa-peristiwa, tindakan-tindakan dan objek-objek. Strauss menggaris bawahi bahwa bentuk transformasi ini menjadi turning point atas apa yang telah menjadi proses berteater selama kerja latihan hingga menjadi kenyataan panggung. Turning point dalam arti yang sesungguhnya, ia berjalan sesuai yang dialami menuju kenyataan kini. Para pemeran dan sutradara pada naskah drama “Sementara Menunggu Godot”, seharusnya telah mengejawantahkan bagaimana turning point itu dialami oleh aktor-aktor dalam memerankan tokoh sebagai sebuah bentuk transformasi identitas menjadi karya pemeranan.
Pemilihan fase-fase kekaryaan dalam mengkaji proses transformasi identitas sebagai suatu dialektika antara realitas pemeran dengan perwujudan capaian ideal karakter peran di atas panggung. Pertanyaannya kenapa hal ini tidak tampak terjadi transformasi teks verbal menuju kenyataan panggung ?
Jawabannya dari pertunjukan drama “Sementara Menunggu Godot”, sebagai teks karya, ia dihasilkan dari konstruksi atas apa yang mereka tafsirkan. Dalam hal ini, kesetiaaan sutradara Pandu Birowo terhadap teks drama menjadi acuan utama sebagaimana dalam naskah drama “Sementara Menunggu Godot”. Hal inilah yang terasa melelahkan.
Namun pertunjukan masih bisa menemukan tempo yang meningkat, ketika dua tokoh lainnya masuk, yakni; Pozzo dan Lucky yang diperankan oleh Rafi dan Alfian. Pozzo hadir seolah sebagai tuan, dan Lucky hadir seperti budaknya. Pozzo dan budaknya, Lucky tampak diperlakukan sebagai kuda pengangkut beban, sedangkan Pozzo, memegang sebuah cambuk sebagai lambang otoritas.
Secara tiba-tiba dan setiap helaan keras dari Pozzo, membuat Lucky dan barang-barang bawaannya jatuh. Setiap barang jatuh harus dibereskan langsung oleh Lucky sebagai budak. Ketika Vladimir dan Estragon berusaha melihatnya, Pozzo dengan lantang berkata, “Hati-hati, dia galak! Secara serentak pandangan mereka terarah pada Pozzo, dan dari mulut Estragon tercetus, “Inikah orangnya”. Vladimir balik bertanya, “Siapa ?”.
Estragon yang dengan penuh keraguan menjawab “ Godot”. Keduanya tampak saling pandang memandang, ketika Pozzo memperkenalkan diri siapa sebenarnya dirinya. Pertunjukan drama “Sementara Menunggu Godot”, berlangsung hampir tiga jam, saya mengamati pertunjukan ini secara jujur saya harus tertidur ditengah pertunjukan berlangsung. Saya terbangun kembali setengah jam menjelang berakhir pertunjukan. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.