OPINI
Lunturnya Pemberantasan Korupsi
Opini berjudul: Lunturnya Pemberantasan Korupsi. Oleh: Helmi Chandra SY, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta & Peneliti (BHAKTI).
Sebagain teks itu memuat tulisan “#MosiTidakPercaya” dan “Berani Jujur Pecat” sebagai gambaran kekecewaan para aktivis terhadap Pimpinan KPK. Namun tindakan tersebut tidak dianggap sebagai kritik publik oleh Pimpinan KPK, tetapi malah dikategorikan sebagai perbuatan yang mengganggu ketertiban dan kenyamanan di kantor KPK.
Konflik antara KPK dan masyarakat sipil merupakan hal baru yang tidak pernah terjadi sebelumnya. Seakan dilupakan, masyarakat sipil merupakan elemen penting dari eksistensi KPK selama ini. Saat banyak serangan terhadap KPK, baik secara kelembagaan maupun individu seperti “cicak vs buaya”, kriminalisasi pimpinan KPK dan serangan terhadap Novel Baswedan, masyarakat sipil lah yang kemudian berdiri membela KPK.
Jika dipahami dengan baik, kritik dan masukan kepada KPK dengan berbagai cara merupakan saran dari UU KPK. Pasal 1 angka 4 mengatur peran serta masyarakat dalam pemberantasan korupsi, sehingga respon Pimpinan KPK yang melaporkan aktivis dalam memberikan kritik merupakan tindakan berlebihan.
Apalagi, laporan KPK kepada kepolisian terhadap masyarakat sipil menggunakan Pasal 207 dan 208 KUHP tentang penghinaan kepada penguasa negara. Tindakan yang menggambarkan kepemimpinan represif, anti demokrasi dan gagal fokus untuk menangkap pesan untuk memberantas korupsi.
Diskon Hukuman Koruptor
Di luar KPK, lembaga peradilan juga punya andil besar melunturkan upaya pemberantasan korupsi. Sebagai institusi di hilir pemberantasan korupsi, peradilan diharapkan mampu memberikan efek jera bagi koruptor.
Diringankannya hukuman terhadap koruptor adalah cerminan dari lemahnya komitmen hakim dalam pemberantasan korupsi. Berdasarkan catatan Indonesia Coruption Watch (ICW), sepanjang 2020 saja ada 14 koruptor yang hukumannya dikurangi melalui putusan hakim di MA (Kompas, 16/06/2021).
Nama-nama seperti Romahurmuzi, Sri Wahyumi Manalip, Hary Prasetio hingga mantan jaksa Pinangki Sirna Malasari menjadi koruptor yang menikmati diskon hukuman tersebut. Perilaku ini, tidak hanya mengesampingkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, tetapi juga seakan menutup mata peradilan dari bobroknya aparat penegak hukum akibat korupsi.
Tren Vonis Korupsi 2020 yang dikeluarkan oleh ICW semakin mengusik rasa keadilan masyarakat, dari total 1.219 perkara korupsi yang disidangkan, rata-rata hukuman untuk koruptor hanya 3 tahun 1 bulan penjara. Hukuman ringan masih mendominasi persidangan perkara korupsi. Di mana sebanyak 760 koruptor dihukum di bawah empat tahun penjara.
Sedangkan hukuman berat hanya dikenakan kepada 18 orang terdakwa saja. Bentangan data-data tersebut tidak hanya memperbesar rasa pesimis terhadap peradilan namun juga melunturkan upaya bersama memberantas korupsi. Apalagi yang diharapkan, jika akhirnya penjatuhan hukuman bagi koruptor tidak lagi berbeda dengan kejahatan biasa lainnya, seperti pencurian atau penghinaan. (*)