Opini

Merdeka (dari) Korupsi

Opini Helmi Chandra SY, Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta & Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI).

Editor: Saridal Maijar
Istimewa
Helmi Chandra SY 

Oleh: Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta & Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)

TEPAT tanggal 17 Agustus 2020 yang lalu Indonesia telah memasuki usia ke 75 tahun. Banyak sudah capaian yang telah dilalui oleh Indonesia sebagai negara namun demikian, sangat banyak pula persoalan besar yang masih harus diselesaikan dan dicarikan solusinya agar seluruh bangsa mampu menikmati arti dari kemerdekaan tersebut. Diantara banyak masalah itu perkara korupsi menjadi yang paling krusial harus diselesikan segera karena selain merugikan keuangan negara, korupsi juga telah merusak banyak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara mulai dari pusat hingga ke daerah.

Masifnya Kasus Korupsi

Berdasarkan catatan Indonesia Corruption Watch (ICW) sepanjang tahun 2018 masifnya kasus korupsi telah merugikan negara hingga Rp.9,2 triliun. Kontestasi elektoral pun terganggu akibat praktik rasuah, kepala daerah silih berganti menjadi tersangka karena terbukti menjadikan kewenangan luas sebagai bancakan korupsi. Citra Indonesia di mata dunia pun tidak menunjukkan perbaikan signifikan, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) terbitan Transparency International tahun 2019 masih menempatkan Indonesia pada peringkat 85 dari total 180 negara yang diteliti.

Sementara itu, pelaku korupsi yang ditangani oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhitung juga masih dalam jumlah yang besar. Merujuk pada data KPK menyebutkan bahwa sejak 2016 sampai dengan tahun 2019 lembaga anti rasuah itu telah menetapkan 608 orang sebagai tersangka kasus korupsi. Sepanjang 2019, KPK telah melakukan penyelidikan terhadap 142 kasus, melakukan penyidikan 268 perkara, dan melakukan penuntutan terhadap 234 perkara. Dari sini, sebanyak 142 perkara telah berkekuatan hukum tetap, dan melakukan eksekusi sebanyak 136 perkara. Dalam menegakkan hukum, KPK juga melakukan koordinasi dan supervisi bersama Kejaksaan dan Kepolisian. Sebanyak 361 perkara telah dikoordinasikan penanganannya, dan sebanyak 402 perkara disupervisi. Bahkan, jumlah aduan perkara korupsi yang diterima KPK dari masyarakat sepanjang tahun 2019 mencapai 6.084 laporan, dan sebanyak 2.780 laporan di antaranya, merupakan pengaduan terkait tindak pidana korupsi yang telah diverifikasi.

Melemahnya KPK

Sejatinya KPK merupakan salah satu anak kandung reformasi yang paling menyedot perhatian publik luas, baik di tingkat domestik maupun global. KPK yang begitu populer dengan pendekatan penegakan hukumnya yang tegas, dan berani merangsek ke pusat-pusat kekuasaan politik dan bisnis kerap menjadi buah bibir para pemimpin negara, ataupun aktivis antikorupsi di berbagai pertemuan formal maupun informal kenegaraan. Karena itu pula, banyak negara yang ingin meniru dan mengadopsi model kelembagaan KPK Indonesia, yang memiliki wewenang khusus dan tingkat independensi yang sangat baik.

Namun yang terjadi justru upaya memperlemah KPK dilakukan dengan upaya merevisi UU KPK yang selama ini digaungkan oleh pemerintah dan DPR sejak tahun 2010. Tepat pada tanggal 17 Oktober 2019 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 resmi berganti menjadi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019. Hampir keseluruhan tahapan proses dan substansi pada regulasi ini kemudian menghambat kinerja KPK. Semula pemberantasan korupsi berada pada jalur cepat, namun karena adanya UU ini berbalik kembali ke jalur lambat.

Salah satu persoalan mendasar dalam perubahan UU KPK adalah peralihan status kepegawaian KPK. Hal ini termaktub dalam Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang KPK yang menyebutkan bahwa Pegawai KPK merupakan anggota korps profesi pegawai aparatur sipil negara Republik Indonesia sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pada faktanya, tidak hanya independensi kelembagaan secara menyeluruh saja yang terganggu dengan hadirnya regulasi baru ini, namun urusan kepegawaian pun turut dipersoalkan.

Kondisi ini sudah barang tentu membuat nilai independensi KPK akan semakin terkikis akibat dari keberlakuan revisi UU KPK. Sebab, salah satu ciri lembaga negara independen tercermin dari sistem kepegawaiannya yang dikelola secara mandiri. Ini juga merupakan implementasi dari self regulatory body yang ada pada lembaga negara independen. Selain pelemahan melalui regulasi, KPK juga mendapatkan intimidasi verbal hingga serangan secara fisik hingga percobaan pembunuhan. Publik menyebutnya serangan balik koruptor (corruptor fight back).

Sepanjang 2019 saja, serangan kepada pimpinan dan pegawai KPK, terjadi beberapa kali. Tentu saja dilakukan oleh orang yang tak ingin KPK kuat. Dilakukan oleh pihak-pihak yang kepentingannya terganggu oleh kerja-kerja KPK. Serangan itu berbentuk teror bom, penganiayaan hingga penggiringan opini secara terstruktur dan masif di media sosial. Bahkan dalam laporan tahunan KPK 2019 disebutkan ada ancaman berbau mistis yang dialami salah seorang personel Korwil II, Dian Patria yang pernah mengalami kejadian berbau mistis yang mencelakakan dirinya. Kejadian mistis yang menimpanya berawal saat ia melakukan pemantauan di Bendungan Jatiluhur, Kabupaten Purwakarta, Jawa Barat pada 2017. Sepulangnya dari kegiatan pemantauan, ia sering mengalami sesak napas. Meski begitu, Dian tetap melanjutkan tugas dengan mengunjungi daerah Kalimantan Timur untuk melakukan peninjauan ke sejumlah area tambang yang memiliki IUP non Clear and Clean dan habis masa berlakunya. Di sela tugasnya, ia sempat berobat ke Rumah Sakit. Dokter menyatakan bahwa ada cairan di jantung dan paru-paru yang mewajibkannya harus dirawat di ruang ICU selama dua pekan dan bertahan dengan bantuan ventilator. Dari sejumlah dokter yang menanganinya, tidak ada satupun yang dapat menjelaskan penyakit yang sebenarnya menjangkiti tubuh Dian.

Adanya Mafia Peradilan

Mafia peradilan sesungguhnya merupakan penyakit yang menghinggapi hampir semua peradilan negara-negara di dunia ini, Dalam konteks Indonesia, persoalannya menjadi sangat serius karena fenomena mafia tersebut terlanjur berkembang secara sistemik dan terkesan sebagai suatu budaya (Artidjo Alkostar: 2002). Menurut data KPK sejak tahun 2004 hingga tahun 2019 setidaknya sudah 22 hakim, 10 jaksa dan 12 pengacara terlibat kasus korupsi (www.kpk.go.id). Hal ini disebabkan bahwa praktek peradilan yang dikendalikan oleh mafia, akan menimbulkan berbagai dampak negatif yang merusak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara. Seperti macetnya proses demokratisasi, terjadinya iklim diskriminasi hukum yang merupakan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) universal, hancurnya martabat peradilan (contempt of court) hingga timbulnya situasi berupa ketidakpercayaan publik terhadap hukum (eigen richting).

Upaya menumpas mafia peradilan sejatinya bertujuan agar negara bisa bebas dari korupsi karena jamak diketahui, korupsi merupakan white collar crime yang pada umumnya melibatkan lebih dari satu orang pelaku. Karena dilakukan banyak orang, korupsi merupakan kejahatan yang terorganisasi (organized crime). Selain itu, korupsi juga dilakukan dengan modus operandi yang sangat canggih sehingga sulit dibuktikan. Kondisinya akan makin complicated apabila sebuah kasus melibatkan mereka yang memiliki otoritas hingga kuasa peradilan. Untuk itulah perlu komitmen serius negara dalam memberantas korupsi. Jangan sampai dalam kemerdekaan, negara ini bukannya merdeka dari korupsi tetapi malah merdeka untuk korupsi. (*)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved