OPINI

Keadilan dan Imaji Anti Korupsi

KATA-KATA yang paling sering dipakai oleh setiap orang untuk menilai bahkan menghujat penegakkan proses hukum adalah adil atau tidak adil.

Editor: Saridal Maijar
Istimewa
Helmi Chandra SY 

Oleh: Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta & Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)

KATA-KATA yang paling sering dipakai oleh setiap orang untuk menilai bahkan menghujat penegakkan proses hukum adalah adil atau tidak adil.

Memang dapat dipahami bahwa keadilan mendapat tempat paling tinggi bagi kritik terhadap tatanan hukum, aparat maupun aturan hukum itu sendiri.

Keadilan bagaikan udara yang terasa sangat abstrak namun sangat diharapkan kehadirannya bahkan bagi mereka sang pencari keadilan semua hal akan rela dikorbankan agar keadilan didapatkan.

Aristoteles dalam bukunya Nichomacen Ethics, menyatakan bahwa keadilan merupakan kebajikan yang berkaitan dengan hubungan antar manusia.

Seseorang dikatakan berlaku tidak adil apabila orang itu mengambil lebih dari bagian yang semestinya. Untuk itulah melalui hukum diharapkan dapat terjalin pencapaian cita dari manusia yaitu adil.

Hal ini senada dengan yang dikatakan oleh Gustav Radbruch bahwa hukum dalam pencapaiannya tidak boleh lepas dari keadilan, kepastian dan kemanfaatan sebagai sebuah tujuan.

Eksistensi hukum yang dimaksud ialah baik hukum yang bersifat pasif dari peraturan perundang-undangan maupun bersifat aktif dari sebuah proses peradilan.

Kasus Novel Baswedan menjadi contoh dimana adil dan tidak adil kembali menjadi perdebatan dimana, kasus penyiraman air keras terhadap penyidik KPK tersebut menimbulkan keprihatinan dan kemarahannya atas tuntutan 1 tahun penjara terhadap dua terdakwa, yaitu Rahmat Kadir Mahulette dan Ronny Bugis, yang membuat mata Novel cacat.

Kasus ini sejatinya telah menggantung penyelesaiannya sejak tahun 2017 sehingga masih menjadi hutang presiden Jokowi semenjak periode pertama pemerintahannya yang akan menjadi noda hitam jika tidak diselesaikan dengan adil.

Mengusik Rasa Keadilan

Rasa keadilan untuk korban dan masyarakat benar-benar terusik dengan tuntutan ringan dari jaksa seakan tanpa efek penjeraan (deterrence effect).

Patut dipahami, sebagai penyidik Novel pasti sangat mengandalkan ketajaman penglihatan dalam mengusut kasus-kasus korupsi.

Mata menjadi salah satu amunisi penting untuk dapat mengungkap kejahatan yang telah merugikan negara itu. Sehingga penyiraman yang membutakan mata tentu menjadi pukulan telak, tidak hanya untuk Novel, tapi juga bagi setiap usaha memerangi korupsi di negeri ini.

Jaksa sebagai institusi yang secara langsung mewakili negara seharusnya bisa menuntut maksimal para pelaku, terutama karena korban kejahatan dan pelaku sama-sama berstatus aparat penegak hukum.

Tidak hanya itu, masyarakat juga sulit menerima fakta bahwa institusi kepolisian justru menyediakan tim penasihat hukum yang dipimpin seorang perwira tinggi bintang satu alias brigadir jenderal padahal terdakwa disebut melakukan kejahatan atas nama pribadi bukan institusi.

Saat ini publik tentu hanya berharap kepada hakim agar menilai lebih obyektif dan menjatuhkan hukuman yang lebih berat dari pada tuntutan jaksa.

Pada prinsipnya yang menjadi ukuran bagi hakim dalam menjatuhkan putusan pemidanaan adalah surat dakwaan jaksa, bukan surat tuntutan sehingga hakim dapat menjatuhkan putusan melebihi apa yang dituntut (ultra petita).

Ketentuan ini berdasarkan Pasal 193 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang menyebutkan jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya, maka pengadilan menjatuhkan pidana kepadanya.

Dalam praktiknya, sudah berkali-kali hakim menjatuhkan pidana penjara lebih tinggi dari yang dituntut jaksa.

Kasus penyiraman air keras seperti yang terjadi pada Novel juga pernah terjadi beberapa kali mulai dari kasus Mulyono penyiram air keras kepada istrinya tahun 2006 yang divonis 12 tahun, kasus Lamaji penyiram air keras kepada pemandu lagu di Mojokerto tahun 2017 yang divonis 15 tahun, kasus Ahmad Irawan penyiram cuka para tahun 2019 yang divonis 10 tahun, kasus Rika Sonata penyiram air keras kepada suaminya tahun 2019 yang divonis 10 tahun, kasus Ruslam penyiram air keras kepada istrinya tahun 2019 yang divonis 8 tahun dan kasus Heriyanto penyiram air keras kepada istrinya di Bengkulu tahun 2020 yang divonis 20 tahun.

Publik tentu akan membandingkan semua kasus itu dengan vonis kasus Novel nantinya yang saat ini hanya dituntut rendah jauh diluar logika. 

Minim Imaji Anti Korupsi

Pemberantasan korupsi hanya akan berhasil selama para pemimpin di negeri ini masih memiliki bayangan dalam pikiran (imaji) anti korupsi. Ketika imaji tersebut hilang maka upaya pemberantasan korupsi hanya akan berubah menjadi sekedar retorika belaka.

Hal ini tentu berhubungan langsung dengan KPK dan sebagian personel penegak hukumnya dalam menghadapi ancaman kriminalisasi hingga serangan fisik seperti kasus Novel.

Maka perlindungan terhadap penegak hukum kasus korupsi akan menjadi penilaian bagi publik bahwa pemimpin negeri ini masih punya atau semakin menjauh dari imaji anti korupsi yang jika terus dibiarkan akan pelan-pelan melemahkan lembaga anti korupsi.

Secara historis sejak tahun 1959, Indonesia telah membentuk 8 (delapan) lembaga pemberantasan korupsi mulai dari Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara (Bapekan) tahun 1959, Panitia Retooling Aparatur Negara (Peran) tahun 1959, Operasi Budhi tahun 1963, Komando Tertinggi Retooling Aparatur Revolusi (Kotrar) tahun 1964, Tim Pemberantas Korupsi (TPK) tahun1967, Komisi Empat tahun 1970, Komisi Pengawas Kekayaan Pejabat Negara (KPKPN) tahun 1999, Tim Gabungan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (TGPTPK) tahun 2000 dan terakhir KPK yang dibentuk tahun 2002 hingga sekarang (historia.id).

Namun semua lembaga anti korupsi sebelum KPK tersebut berakhir masanya akibat kurangnya dukungan politik sehingga pemerintah gagal menyelamatkan wajah pemberantasan korupsi. Bagi Presiden Jokowi saat ini tentu tidak ingin mengulangi hal itu dan meninggalkan legacy buruk dengan mengabaikannya.

Keadaan semakin membuat masyarakat pesimis dengan upaya pemberantasan korupsi dengan tidak adanya perlindungan bagi aparat penegak hukumnya.

Data dalam 8 tahun terakhir setidaknya ada 5 (lima) kasus penyerangan secara fisik terhadap personil KPK (detik.com) dengan rincian pada tahun 2011 penyidik KPK Dwi Samayo, sepeda motornya ditabrak oleh mobil dari belakang sehingga mengalami retak pada kaki.

Tahun 2015 ketua KPK saat itu Abraham Samad, mengalami pembunuhan karakter berupa penyebaran foto palsu dirinya seolah sedang berduaan dengan wanita di hotel, kemudian tahun 2016 penyidik KPK Novel Baswedan, ditabrak mobil hingga terpental yang mengakibatkan luka pada kaki dan tangannya.

Tahun 2017 penyidik KPK Novel Baswedan kembali diserang dengan disiram air keras oleh 2 (dua) orang yang tidak dikenal sehingga mengakibatkan mata sebelah kirinya rusak dan buta kemudian yang terbaru tahun 2019 ketua dan wakil ketua KPK Agus Rahardjo dan Laode M Syarif, masing-masing diteror dengan bom melotov dirumahnya.

Maka sesungguhnya penyelesaian terhadap kasus Novel saat tidak hanya sekedar memberikan keadilan bagi seorang warga negara tetapi juga pertaruhan masih adakah imaji anti korupsi yang kuat di negeri ini.

Bahkan labih jauh penuntasan kasus Novel merupakan wujud penyelamatan wajah pemberantasan korupsi di Indonesia terutama yang ditangani KPK karena jamak diketahui isu corruptors fight back sudah kenyang di dapatkan KPK sejak berdiri tahun 2002 sehingga jika tidak diperhatikan serius maka upaya pelemahan terhadap KPK secara langsung akan semakin menjadi-jadi dan koruptor tidak lagi takut dengan KPK ke depannya. (*)

Rekomendasi untuk Anda
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved