Status CPNS Penyandang Disabilitas di Sumbar Dicabut, BPK: Kesehatan Alde Maulana Bermasalah

Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK) RI akhirnya buka suara terkait pencabutan status CPNS penyandang disabilitas di Sumbar.

Penulis: Rezi Azwar | Editor: Saridal Maijar
TRIBUNPADANG.COM/REZI AZWAR
Alde Maulana bersama istrinya datang ke Kantor LBH Padang, Senin (1/6/2020). 

"Sejauh ini saya sudah berkirim surat permohonan bantuan ke Ombudsman dan Komnas HAM, lalu ke KSP serta Presiden Jokowi yang kebetulan mensahkan UU Disabilitas No 8 tahun 2016," jelas Alde.

Ia mengatakan, pada tanggal 9 Maret 2020 tim BPK RI datang ke Sumbar memberikan SK pemberhentian dengan alasan tidak sehat jasmani dan rohani.

Ia meminta untuk dipertimbangkan lagi, karena baru menikah pada awal Januari 2020, dan itu berdampak terhadap keluarga kecilnya.

Namun, tim pusat menyatakan kalau keputusan itu sudah final, dan pada Maret 2020 dirinya tidak ada masuk kantor lagi.

"Kalau bisa jangan jadikan hal ini berlarut-larut, tapi ada duduk satu meja dengan pihak yang berkompeten dalam masalah ini," ujarnya.

Ia mengatakan, kalau tidak diberhentikan, dirinya sedang menunggu SK 100 persen, yang sebelumnya baru dapat SK 80 persen.

"Tidak sehat secara jasmani memang tidak sehat pasca sakit operasi besar pada Januari tahun 2015, dan tidak sehat secara rohani ini saya pertanyakan," ujarnya.

"Kenapa harus diberhentikan dengan hormat, padahal bisa dipindahkan ke bagian umum jelang belajar lagi pada periode selanjutnya."

Wakil Direktur LBH Padang Indira Suryani mengatakan, LBH Padang sebenarnya sudah menyurati BPK Sumbar dan BPK RI Pusat untuk mengklarifikasi hal ini.

"Kami berpandangan dari LBH ini kasusnya, karena minimnya paradigma disabilitas di tataran pemerintahan."

"Secara mandiri, Alde juga sudah menyurati Komnas HAM Sumbar dan Ombudsman Sumbar," ujarnya.

Ia mengatakan, bahwa pihaknya sudah berkoordinasi dan statusnya masih tahap klarifikasi.

LBH Padang mendorong pihak BPK dan kemudian pemerintahan memfasilitasi penyelesaian permasalahan ini dengan cepat.

"Kami ingin ada solusi cepat dalam penyelesaian masalah ini, karena memang ini terkait hak disabilitas, dan diselesaikan dengan cara-cara progresif," sebutnya.

Ia mengatakan, hak penyandang disabilitas diatur dalam Undang-undang Nomor 8 tahun 2018 tentang Penyandang Disabilitas yang disahkan oleh Presiden dan DPR RI.

Banyak peraturan perundang-undangan mengatur soal sehat jasmani dan rohani sebagai sebuah persyaratan.

"Sehingga bisa jadi semacam Pasal karet, apalagi pemerintah tidak punya paradigma sebagaimana yang ada di Undang-undang disabilitas."

"Kita tahu disabilitas bukan tidak sehat jasmani dan rohani tapi ada kondisi khusus, ketika ada kondisi khusus ada perlakuan khusus dan perlindungan khusus yang diberikan oleh negara," sebutnya.

Ia berharap adanya upaya duduk bersama untuk menyelesaikan masalah ini secara arif dan bijaksana, tanpa proses embel-embel hukum seperti di pengadilan dan sebagainya.

"Karena di pengadilan, ada proses yang sangat lama, kami sangat berharap di LBH pemerintah punya keinsafan lagi seperti kasus Dokter Romi, direspon dengan baik, dengan cepat dan disabilitas dapat terpenuhi haknya dengan cepat juga tidak berlarut-larut," tuturnya.(*)

Sumber: Tribun Padang
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved