OPINI
Sengkarut Korupsi Politik
HARI Anti Korupsi Internasional, Senin 9 Desember 2019 menjadi titik resolusi negeri ini terhadap korupsi.
Oleh: Helmi Chandra SY
HARI Anti Korupsi Internasional, Senin 9 Desember 2019 menjadi titik resolusi negeri ini terhadap korupsi. Korupsi sudah bagaikan benang kusut yang sangat sulit mengurainya.
Hampir semua cabang-cabang kekuasaan negara terjerumus dalam praktik korupsi. Godaan korupsi menjerat legislatif dengan lembaga DPR, DPD dan DPRD, eksekutif dengan kementerian beserta pejabat pemerintahan serta yudikatif dalam lingkungan MA dan MK.
Data KPK menyebutkan setidaknya hingga saat ini KPK telah melakukan penindakan terhadap 885 orang dalam berbagai profesi. Namun yang menarik dari jumlah tersebut, 539 orang di antaranya berprofesi sebagai anggota DPR, DPRD, gubernur, dan bupati atau walikota yang jika ditelisik hampir semuanya berlatar belakang dari partai politik.
Fakta ini tentu menimbulkan rasa kekhawatiran bagi publik terhadap partai politik karena penghianatan terhadap amanat rakyat serta menghancurkan optimisme menjelang hajatan besar pilkada serentak 2020 yang kurang dari satu tahun lagi sebab dirusak oleh sengkarut korupsi politik.
Korupsi politik sejatinya bukanlah hal baru di negeri ini, dimana terminologi korupsi politik ini mengacu kepada setiap korupsi yang terjadi pada sektor politik ataupun yang melibatkan partai politik.
Senada dengan itu mantan hakim agung Artidjo Alkostar memaknai korupsi politik sebagai suatu perbuatan yang dilakukan pejabat publik yang memegang kekuasaan politik tetapi kekuasaan itu digunakan sebagai alat kejahatan.
Korupsi politik mencakup berbagai aspek yang berkaitan dengan kekuasaan, kerena figur sentral dari korupsi politik adalah subjek hukum yang memiliki kekuasaan politik, menerima amanat dari rakyat, memiliki mandat konstitusional dan hukum untuk menegakkan demokrasi dan keadilan.
Akar Sengkarut Korupsi Politik
Setidaknya penyebab menjamurnya korupsi politik di Indonesia saat ini diakibatkan oleh 3 (tiga) faktor pemicu. Pertama, dominasi partai politik terhadap pengisian jabatan-jabatan publik, kedudukan partai politik sangatlah besar dengan menjadi satu-satunya lembaga yang melakukan rekrutmen politik sehingga anggota DPR, DPRD hingga kepala daerah hanya bisa diisi oleh calon-calon dari partai politik.
Bahkan, anggota DPD pun sejak pemilu 2009 juga dimasuki oleh kader-kader partai politik sebelum akhirnya dianulir oleh MK yang kemudian diikuti oleh KPU dengan melarang caleg DPD berasal dari partai politik pada pemilu serentak 17 April 2019 yang lalu.
Pengisian jabatan prestisius seperti presiden dan wakil presiden juga hanya bisa diajukan oleh partai politik, di mana pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum seperti yang dijelaskan Pasal 6A (2) UUD 1945 sehingga ketentuan tegas norma konstitusi ini tak membuka ruang dan kesempatan bagi calon presiden perseorangan atau independen.
Selain itu, jabatan kepala daerah juga harus “mengendarai” partai politik meskipun tidak seketat pengisian jabatan presiden karena dimungkinkan ruang bagi calon perseorangan namun jalur tersebut sangat sulit bagaikan “jalan bebatuan”.
Tidak sampai di situ, partai politik juga sangat dominan dalam menentukan jabatan-jabatan seperti calon hakim agung dan pimpinan komisi-komisi negara independen, dimana seleksi dilakukan oleh lembaga DPR yang notabene adalah mereka yang berasal dari partai politik.
Paling kompleks tentu pengisian jabatan menteri-menteri negara yang merupakan hak prerogatif presiden sehingga seharusnya bebas dari intervensi partai politik namun realitanya jabatan menteri justru dijadikan lahan untuk bagi-bagi jabatan bagi partai politik pengusung presiden pemenang pemilu.
Hal ini terlihat setidaknya sejak pemilu langsung pertama tahun 2004 hingga saat ini tidak ada satu pun presiden yang mampu dan mau membentuk kabinet yang berisi tokoh dan orang-orang ahli dalam bidangnya (zaken cabinet) tanpa terafiliasi dari partai politik.
Kondisi ini menjadikan posisi pimpinan partai politik punya pengaruh yang sangat siknifikan sehingga tidak jarang terjadi praktik memperdagangan pengaruh (trading influence) dan korupsi yang melibatkan pimpinan partai politik tersebut.
Sebagai gambaran sejak KPK berdiri tahun 2002 sudah 5 (lima) ketua umum partai politik yang ditangkap mulai Lutfi Hassan Ishaaq (PKS) tahun 2013, Anas Urbaningrum (Demokrat) tahun 2013, Suryadhama Ali (PPP) tahun 2014, Setya Novanto (Golkar) tahun 2017 dan terakhir Romahurmuziy (PPP) tahun 2019 (katadata.co.id).
Kedua, minimnya perbaikan internal parpol, besarnya fungsi dan peran partai politik tidak berbanding lurus dengan usaha perbaikan terhadap internal partai politik. Korupsi yang melibatkan partai politik sesungguhnya hanya “puncak gunung es” dari banyaknya masalah yang terjadi pada institusi partai politik mulai dari pengelolaan sebagian besar partai politik secara oligarki atau personalistik jauh dari demokratis sehingga tidak jarang ada partai politik yang hanya dipimpin oleh orang yang sama dalam waktu yang lama tanpa ada perioderisasi masa jabatan.
Selanjutnya sistem kaderisasi juga menjadi masalah pelik bagi partai politik, sebab hampir tidak ada partai politik yang melaksanakan sistem kadarisasi yang sistemik, berjenjang dan komprehensif dengan menitikberatkan pada integritas calon.
Realitanya yang ada partai politik lebih banyak mengajukan calon-calon yang populer dari pada kader yang secara berjenjang dihasilkan oleh proses pendidikan internal partai politik tersebut.
Namun sebenarnya tanpa sadar partai politik mengabaikan integritas terhadap orang-orang yang mereka hasilkan sehingga tak jarang praktik korupsi masif terjadi melibatkan orang-orang yang berasal dari partai politik sehingga dapat dipahami bahwa koruptor yang ditangani KPK, sebanyak 61,17 persen di antaranya berasal dari unsur partai politik.
Ketiga, adanya kekosongan regulasi, UU tindak pidana korupsi saat ini memiliki beberapa kekurangan yang perlu diperbaiki sehingga menimbulkan kekosongan hukum, diantaranya tidak diaturnya pasal tentang memperdagangan pengaruh (trading influence) yang menjadi delik korupsi baru.
Tanpa pengaturan memperdagangkan pengaruh, UU Tipikor akan sulit untuk menjerat korupsi politik akibat kedudukan dari pejabat publik. Misalnya, pada kasus Ketua DPD Irman Gusman, yang dengan jabatannya dianggap mempengaruhi kuota gula impor yang diberikan Perusahaan Umum Badan Urusan Logistik (Bulog) kepada CV Semesta Berjaya untuk Provinsi Sumatera Barat pada tahun 2016 dan kondisi yang hampir sama terjadi pada kasus Romahurmuziy (Romi) dalam Operasi Tangkap Tangan (OTT) KPK untuk kasus dugaan suap jual-beli jabatan di Kementerian Agama (Kemenag), dimana keduanya bukan merupakan pejabat yang memiliki kewenangan namun dengan pengaruhnya mampu menentukan hasil kebijakan negara.
Harusnya dilakukan revisi terhadap UU Tipikor yang lebih progresif untuk menjerat pelaku-pelaku korupsi namun yang terjadi justru UU KPK yang diubah oleh DPR yang lagi-lagi dari partai politik.
Akhirnya momentum Hari Anti Korupsi Internasional harus menjadi perbaikan menyeluruh partai politik, sebab jika hal tersebut diabaikan menjelang pilkada serentak 2020 yang akan datang maka tentu pemilik kedaulatan tertinggi yaitu rakyat akan memilih jalannya sendiri. Rakyat akan mulai bersikap apatis terhadap partai politik sehingga tidak ada lagi kepercayaan terhadap sistem bernegara.
Helmi Chandra SY
Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta & Peneliti Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)
