Mengenang Sutan Syahrir: Pernah Diculik di Solo, Syahrir Memukau di Markas PBB New York

Sebagai pejuang tulen bawah tanah, sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, adalah masa-masa tak mudah bagi Sutan Syahrir.

Editor: Saridal Maijar
IST/TribunJogja.com
Soekarno dan Sutan Syahrir 

Ia membujuk Soedarsono dan 14 elite Persatuan Perjuangan bertemu Bung Karno di Gedung Agung.

Sutan Syahrir, Soekarno dan Bung Hatta
Sutan Syahrir, Soekarno dan Bung Hatta (IST/TribunJogja.com)

Pada 3 Juli 1945, kedatangan Soedarsono dan pimpinan penculikan dibisikkan ke komandan pengawal presiden.

Mayjen Soedarsono dan 14 orang aktivis akhirnya ditangkap di dekat Istana Presiden Yogyakarta. Peristiwa ini dikenal sebagai pemberontakan 3 Juli 1946 yang gagal.

Setelah kejadian penculikan ini, Syahrir hanya bertugas sebagai Menteri Luar Negeri. Tugas Perdana Menteri dirangkap Bung Karno.

Namun pada 2 Oktober 1946, Presiden menunjuk kembali Syahrir sebagai Perdana Menteri agar dapat melanjutkan Perundingan Linggarjati, yang akhirnya ditandatangani 15 November 1946.

Dari riwayat ini sangat nampak, hubungan kedua tokoh ini saling mengisi. Tanpa Syahrir, Soekarno bisa terbakar dalam lautan api yang telah ia nyalakan.

Sebaliknya, sulit dibantah tanpa Bung Karno, Syahrir tidak berdaya apa-apa di negeri yang masih sangat belia, di tengah ancaman neo-imperialisme barat.

Meski jatuh-bangun akibat berbagai tentangan di kalangan bangsa sendiri, Kabinet Syahrir I, Kabinet Syahrir II, sampai Kabinet Syahrir III (1945 hingga 1947), konsisten memperjuangkan kedaulatan RI lewat jalur diplomasi.

Pada 14 Agustus 1947, Syahrir tampil di depan siding Dewan Keamanan PBB. Syahrir berpidato, mengurai riwayat negerinya sebagai sebuah bangsa yang berabad-abad berperadaban aksara lantas dieksploitasi kaum kolonial.

Secara piawai Syahrir mematahkan satu per satu argumen perwakilan Belanda, dan memaksa PBB masuk dalam urusan perjuangan Indonesia.

Syahrir mewakili Indonesia di PBB selama satu bulan, dalam dua kali sidang. Pimpinan delegasi Indonesia selanjutnya diteruskan Lambertus Nicodemus Palar (LN) Palar sampai tahun 1950. Syahrir mendapat julukan baru, “The Smiling Diplomats”.

Tahun 1948, Syahrir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (PSI), dan ikut Pemilu 1955. Namun hasilnya tidak menggembirakan.

PSI hanya mendapat lima kursi di DPR. Kemudian sesudah terbentuknya DPR-GR, Sjahrir dan kawan-kawannya terasing sama sekali dalam kehidupan politik.

Tahun 1961 PSI bersama Masyumi dibubarkan Presiden Soekarno karena diduga terlibat pemberontakan PRRI.

Prof Dr Soemitro Djojohadikoesoemo, elite PSI saat itu bergabung ke pemerintahan PRRI di Sungai Daerah, di perbatasan Jambi-Sumbar.

Halaman
123
Sumber: Tribun Jogja
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved