Mengenang Sutan Syahrir: Pernah Diculik di Solo, Syahrir Memukau di Markas PBB New York
Sebagai pejuang tulen bawah tanah, sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, adalah masa-masa tak mudah bagi Sutan Syahrir.
TRIBUNPADANG.COM – Sebagai pejuang tulen bawah tanah, sesudah Proklamasi Kemerdekaan RI pada 17 Agustus 1945, adalah masa-masa tak mudah bagi Sutan Syahrir.
Oleh Soekarno-Hatta ia diserahi tugas menjadi Ketua Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sejak 16 Oktober 1945.
Pada 14 November 1945, ia diangkat menjadi perdana menteri pertama republik yang baru lahir itu.
Baca artikel sebelumnya:
• Mengenang Sutan Syahrir: 9 April 53 Tahun Lalu, Pahlawan dari Ranah Minang Itu Wafat di Swiss
Syahrir berangkat ke Belanda, tapi perundingan tak mencapai titik temu. Perundingan kedua digelar di kaki gunung Ciremai, Kuningan, Jabar.
Dicapailah Persetujuan Linggarjati pada 25 Maret 1946. Hasil perundingan itu akan dipakai Indonesia untuk mendapatkan pengakuan internasional.
Namun, Belanda mengingkari perundingan, da menggelar agresi militer pertama, disusul agresi militer kedua. Perang kemerdekaan pecah di mana-mana.
Pada 26 Juni 1946, Syahrir diculik kader dan aktivis Persatuan Perjuangan, kelompok oposisi radikal yang di antaranya ada Tan Malaka.
Kelompok ini menginginkan pengakuan kedaulatan penuh Indonesia, tidak hanya Jawad an Madura sebagaimana Persetujuan Linggarjati.
Syahrir dianggap terlalu royal pada Belanda. Kelompok penculik Syahrir dipimpin Mayjen Soedarsono dan 14 elite sipil lain.
• Sambut Peringatan HUT TNI AU, Keluarga Besar Lanud Sutan Sjahrir Padang Ziarah ke Makam Pahlawan
• 14 Lukisan Pahlawan Karya Zardi Syahrir Terpajang di Auditorium Gubernur Sumbar
Presiden Soekarno sangat marah atas penculikan ini, dan memerintahkan penangkapan penggerak aksi ini. Pada 1 Juli 1946, 14 elite sipil Persatuan Perjuangan ditangkap dan dijebloskan ke penjara Wirogunan, Yogyakarta.
Hari berikutnya, tentara Divisi 3 yang dipimpin Mayjen Soedarsono menyerbu Wirogunan, membebaskan 14 aktivis politik yang ditahan.
Bung Karno kembali murka. Ia memerintahkan Letkol Soeharto, pimpinan tentara di Surakarta, untuk menangkap Mayjen Soedarsono dan kawan-kawan.
Soeharto menolak perintah ini karena dia tidak mau menangkap pimpinan/atasannya sendiri. Dia hanya mau menangkap para pemberontak kalau ada perintah langsung dari Kepala Staf Militer RI, Jenderal Soedirman.
Presiden Soekarno yang sangat marah menyebut Soeharto sebagai perwira keras kepala (koppig). Soeharto lalu pura-pura menawarkan perlindungan ke Soedarsono dkk di markas Wiyoro.